PAREPARE, PAREPOS.FAJAR.CO.ID — Perayaan Imlek bagi warga Tionghoa jatuh pada Selasa 1 Februari 2022. Meski belum ramai, warga Tionghoa mulai berdatangan ritual di Klenteng Kwang Kong Parepare, Ahad 30 Januari 2022.
Pengurus Klenteng Kwang Kong Parepare, Fendi mengatakan, seminggu sebelum perayaan Imlek tersebut Klenteng rutin dibersihkan. “Seminggu sebelum Imlek, kita bersihkan semua patungnya,” ujar dia.
Usai patung dibersihkan, lanjut dia, ada tradisi warga ritual pemanggilan Dewa dari Pulau Kayangan kembali ke Klenteng Kwang Kong Parepare. “Itu adatnya, memang aturan-aturan leluhur,” ucapnya.
Klenteng juga, kata dia, diberi hiasan pernak-pernik berupa lampion dan bola hias yang digantung di langit-langit.
Selain itu, kata Fendi, pihaknya juga menyediakan buah-buahan untuk jemaah yang ingin melakukan ritual. “Untuk buah-buahan, kita siapkan pir anggur, jeruk, dan apel,” kata dia.
Salah seorang warga, Margareth Kwe berharap perayaan Imlek tahun ini dirinya dan keluarga diberikan kesehatan. “Apalagi tahun ini Shio Macan, semoga kami anak cucu diberikan kesehatan,” ujar dia.
Dia juga mengatakan, dirinya mempersiapkan angpau untuk dibagikan ke keluarga. Selain itu, dirinya juga menghidangkan kue di rumah untuk disantap bersama.
Kebijakan Gus Dur
Umat Konghucu merayakan Tahun Baru Cina atau Imlek pada 1 Februari 2022. Pemerintah Indonesia pun menetapkan tiap tahunnya, ketika Perayaan Tahun Baru Cina berlangsung, sebagai hari libur nasional. Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional di Indonesia memiliki kisah yang panjang.
Tahun Baru Cina atau yang juga disebut sebagai Hari Raya Imlek memiliki makna tersendiri bagi warga Tionghoa. Perayaan ini diisi oleh berbagai acara dan ritual, seperti membersihkan rumah, memberikan angpao, hingga menggunakan atribut serba merah.
Penetapan Imlek sebagai salah satu hari libur di Indonesia berlangsung pada saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tepatnya pada 9 April 2001. Hal ini merupakan sebuah keputusan revolusioner mengingat di era pemerintahan sebelumnya, yakni masa Orde Baru, perayaan Imlek di tempat-tempat umum dilarang.
Selama lebih dari 30 tahun, yakni 1968-1999, umat Konghucu Indonesia melaksanakan perayaan Tahun Baru Cina tidak secara terbuka. Ketetapan ini dituangkan dalam Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 14 tahun 1967.
Merespons hal tersebut, dilansir dari digilib.uin-suka.ac.id, Presiden Gus Dur kemudian mencabut Inpres tersebut, dan mengeluarkan Ketetapan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Keppres tersebut menjadi pintu awal umat Konghucu di Indonesia bisa memeroleh kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.
Kemudian Gus Dur menindaklanjuti keputusannya dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya, berdasarkan Keputusan Nomor 13 tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada 2003, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, keputusan ini ditindaklanjuti dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Karena kebijakan Gus Dur tersebut, pada 10 Maret 2004, Gus Dur memeroleh julukan sebagai Bapak Tionghoa. Predikat ini diberikan oleh masyarakat Tionghoa di Semarang pada saat perayaan hari Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie.(ami/B)