JAKARTA, PAREPOS.FAJAR.CO.ID-- Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, bersilaturahmi dengan Pengurus Pusat Ormas Hidayatullah, Jumat 15 April, kemarin di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah kawasan Cipinang Cimpedak, Jakarta Timur.
LaNyalla hadir didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifuddin, Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir, Staf Ahli Ketua DPD RI Baso Juherman beserta jajaran staf lainnya.
Dari Pengurus Pusat Hidayatullah, hadir Ketua Dewan Pertimbangan Hidayatullah Hamim Thohari, Ketua Umum DPP Hidayatullah Nashirul Haq. Pertemuan juga dihadiri Dewan Murrabi Pusat Hidayatullah, Dewan Mudzakarah Hidayatullah, Pengurus DPP Hidayatullah, Pengurus Organisasi Pendukung Tingkat Pusat Hidayatullah dan Pengurus Amal Usaha Tingkat Pusat Hidayatullah.
Saat berdialog, LaNyalla memaparkan situasi nasional dan internasional terkini. Salah satunya mengenai bagaimana pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Hari Melawan Islamophobia yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 15 Maret lalu.
LaNyalla juga menyampaikan jika DPD RI memiliki kewenangan yang berbeda dengan DPR RI. DPD RI itu hanya pengawasan dan menerima aspirasi. Sementara DPR RI memiliki kewenangan budgeting dan membentuk serta memutuskan UU,” kata LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur itu melanjutkan, sejauh ini, katanya, dalam pandangannya DPR RI tidak maksimal memainkan fungsi kontrol terhadap pemerintah. “Yang terjadi justru partai berkoalisi dengan pemerintah. Maka, kami DPD RI mengambil peran pengawasan terhadap roda pemerintahan,” ujar LaNyalla.
Sebagai wakil rakyat, LaNyalla menegaskan jika saat menjabat, dia disumpah atas nama Allah SWT, untuk menjalankan konstitusi dengan benar. Dimana salah satu tujuan negara ini menurut konstitusi adalah memajukan kesejahteraan umum.
“Artinya saya wajib mewakafkan diri saya untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Dan situasi hari ini, rakyat makin banyak yang tidak sejahtera akibat dampak pandemi dan krisis ekonomi. Itulah mengapa saya melakukan koreksi atas sistem pengelolaan SDA negara ini,” tukasnya.
LaNyalla, menambahkan, konsep pengelolaan SDA mutlak dikembalikan ke sistem ekonomi Pancasila, yang sesuai dengan konsepsi Islam. Dimana SDA adalah public good, bukan commercial good. Yang terjadi sekarang, yang menikmati oligarki. Rakyat tetap kere.
“Kalau kita memikirkan diri sendiri, kita tinggal menikmati saja perpanjangan tiga periode ini. Tapi kita tak mau seperti itu. Sama saja kami ini memperkaya oligarki dan membuat rakyat kita tambah kere,” kata LaNyalla.
Di sisi lain, LaNyalla juga menyinggung soal Hari Anti Islamophobia yang baru saja ditetapkan oleh PBB. Ia meminta pengurus Hidayatullah memassifkan informasi tersebut agar dapat menjadi peringatan yang bermakna bagi masyarakat Muslim dunia.
Sementara Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin, menyayangkan Hari Anti Islamophobia tak disambut dengan gegap gempita oleh umat Muslim Indonesia. “Saya kira perlu ada desakan kepada Legislatif untuk diratifikasi menjadi regulasi, meskipun tidak semua kesepakatan internasional itu mutlak diratifikasi,” tegas Sefdin.
Ia juga menyinggung polarisasi yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, hal itu imbas dari Presidential Threshold 20 persen dan semakin meruncing sejak Pemilu 2014. Presidential Threshold 20 persen tak membuka ruang bagi putera dan puteri terbaik bangsa untuk berkontestasi dalam pemilu.
“Dan hal itu yang menyumbang polarisasi yang sampai hari ini dipelihara. Kita merasakan polarisasi itu sejak 7 tahun yang lalu, tepatnya sejak Pemilu 2014. Sebelumnya, kita tak pernah merasakan hal itu. Presidential Threshold ini adalah kunci masalah polarisasi bangsa ini. Ini juga menjadi concern Ketua DPD RI,” papar Sefdin.
Selanjutnya, dalam hal pengelolaan SDA, Sefdin memaparkan jika menurut catatan Salamudin Daeng, pemerhati masalah energi, hasil produksi batubara nasional mencapai 610 juta ton atau senilai 158,6 miliar dolar atau dalam rupiah menjadi Rp2.299 triliun.
Jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa membayar seluruh utangnya hanya dalam tempo tujuh tahun lunas. Produksi Sawit sebanyak 47 juta ton atau senilai Rp950 triliun, maka jika dibagi dua dengan negara, pemerintah bisa menggratiskan biaya pendidikan dan memberi gaji guru honorer yang layak.
“Kalau dikelola negara sebesar 55 persen, lalu sebesar 35 persen kotraktor yang mengerjakan dan 10 persen untuk masyarakat di sekitar situ, 7 tahun kita bisa bayar utang Rp7 ribu triliun. Itu hanya dari batubara saja, belum lainnya,” ujarnya.
Sementara saat ini, dana yang masuk ke negara dari royalti dan bea ekspor dari sektor mineral dan batubara sejak tahun 2014 hingga 2020, berdasarkan data di Kementerian ESDM, setiap tahunnya tidak pernah mencapai Rp50 triliun.
Hanya di tahun 2021 kemarin, saat harga batubara dan sejumlah komoditi mineral mengalami kenaikan drastis, sehingga tembus Rp75 triliun.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Hidayatullah, Nashirul Haq menjelaskan organisasinya sudah sejak 20 tahun lalu menjelma menjadi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Hidayatullah, Nashirul Haq melanjutkan, memiliki target pada tahun 2025 tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Indonesia.
“Tahun 2025 kami menarget sudah ada di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kami memiliki jaringan pesantren yang cukup banyak. Jadi, kami ini merupakan ormas yang menggabungkan antara NU dan Muhammdiyah. Muhammadiyah terpusat dengan pendidikan, NU dengan pesantrennya. Hidayatullah seperti itu. Kulturnya pesantren, formalnya sekolah,” papar dia.(*)