JAKARTA, PAREPOS.FAJAR.CO.ID - Permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem pemilu akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
Permohoanan yang ditolak itu adalah untuk mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. "Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman, Kamis 15 Juni 2023.
"Mengadili, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," sambungnya.
Sebelumnya, pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) di UU Pemilu bertentangan dengan Konstitusi.
Pokok permohonannya adalah para pemohon mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.
"Kata 'terbuka' pada pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," demikian salah satu petitum pemohon, sebagaimana dibacakan oleh hakim MK.
"Kata 'proporsional' dalam pasal 168 ayat (2) bertentangan sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup'," sambungnya.
Total ada sembilan petitum yang dimohonkan oleh para pemohon. Namun menurut hakim MK, bertumpu pada norma pasal 168 ayat 2 UU 7/2017 khususnya pada kata 'terbuka'. (*)