Oleh: Muhammad Arif, S.Psi, M.Pd
Pengantar Kerja Ahli Muda BP3MI Sulsel
PAREPARE, PAREPOS.FAJAR.CO.ID -- Salah satu hak dasar dari setiap warga negara di Indonesia adalah hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sebagaimana tercantum dalam UUD Tahun 1945 Pasa 27 Ayat 2.
Jika bekerja merupakan hak warga negara, maka menyediakan lapangan kerja merupakan kewajiban dari pemerintah atau penyelenggara negara, baik di dalam negeri maupun memfasilitasi warga yang ingin bekerja ke luar negeri, mengingat cukup tingginya demand atau permintaan tenaga kerja asing di beberapa negara.
Menurut data Badan Pusat statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang pada Agustus 2022, porsinya 5,86% dari total angkatan kerja nasional. Masih tingginya angka pengangguran tersebut merupakan cerminan dari terbatasnya lapangan kerja yang tersedia di dalam negeri.
Salah satu langkah yang ditempuh sebagian masyarakat Indonesia dalam rangka menyesuaikan diri dengan keadaan sulit tersebut adalah merantau ke luar negeri untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Hanya saja, langkah yang ditempuh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia masih merupakan langkah yang nonprosedural. Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah Pekerja Migran Indonesia yang berangkat tercatat resmi dan sesuai prosedur mencapai 3,7 juta pekerja, yang tersebar di 150 negara.
Sedangkan berdasarkan data World Bank, jumlah PMI di luar negeri sebanyak 9 juta. Data ini dinilai akurat sebab telah melalui penelitian ilmiah.
Untuk dapat berangkat secara resmi, PMI wajib memenuhi lima persyaratan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 5 UU 18/2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yaitu berusia minimal 18 tahun, memiliki kompetensi, sehat jasmani dan rohani, terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan Jaminan Sosial, dan memiliki dokumen lengkap yang dipersyaratkan.
Adapun dokumen lengkap tersebut disebutkan dalam pasal 13 UU 18/2017, bahwa paling sedikit meliputi: KTP/KK, surat keterangan status perkawinan/ buku nikah, surat keterangan suami/istri, orang tua/ wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah, sertifikat kompetensi kerja, surat keterangan sehat, dan kartu kepesertaan jaminan kesehatan nasional.
Yang akan dibahas lebih khusus dalam tulisan ini adalah syarat nomor dua, yaitu mengenai kompetensi. Syarat tersebut perlu dibuktikan melalui bukti dokumen yaitu sertifikat kompetensi.
Hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi sebagian besar jenis pekerjaan yang tersedia bagi PMI di luar negeri, karena saat ini hampir semua jenis pekerjaan tersebut ada pelatihan maupun sertifikasi kompetensinya.
Namun, bagi pekerjaan di sektor perkebunan lebih khusus lagi perkebunan kelapa sawit, pelatihan dan sertifikasi tersebut belum ada hingga saat ini.
Sebagai solusi yang disepakati bersama oleh rekan-rekan di Dinas yang membidangi Ketenagakerjaan dalam mengisi kesenjangan tersebut adalah bolehnya CPMI menggunakan ijazah sebagai pengganti sertifikat kompetensi, untuk diunggah oleh CPMI/P3MI di aplikasi SIAPKERJA yang dikelola Kemnaker dan terintegrasi dengan SISKOP2MI yang dikelola oleh BP2MI.
Namun, terdapat lagi kendala lain, yaitu masih banyaknya warga negara Indonesia yang tidak memiliki bahkan ijazah SD sekalipun. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, masih terdapat lebih dari 25 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang tidak atau belum tamat SD, dan hampir 3,5 juta penduduk yang sama sekali tidak pernah sekolah.
Oleh karena itu melalui tulisan ini, penulis mengharapkan kepada para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang diberi amanat oleh UU 18/2017 pasal pasal 40 huruf a dan pasal 41 huruf f untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja, khususnya kepada Calon Pekerja Migran Indonesia sektor perkebunan kelapa sawit, yang kemudian menerbitkan sertifikat kompetensi atau surat keterangan telah mengikuti pelatihan.
Namun, jika hal tersebut sulit diwujudkan, maka diharapkan kepada pemerintah pusat, khususnya kepala BP2MI agar memberikan pengecualian syarat sertifikat kompetensi tersebut kepada PMI yang akan bekerja di sektor perkebunan kepala sawit, karena memang pekerja di sektor tersebut seringkali disebut unskilled worker, dan mempertimbangkan begitu besarnya kebutuhan tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit di Malaysia yang sangat klop dengan melimpahnya supply tenaga kerja di Indonesia yang sangat siap mengisi kekosongan tersebut.
Jika kendala terkait sertifikat kompetensi tersebut telah teratasi, maka dapat diharapkan untuk mengurangi angka pemberangkatan secara non-prosedural, sebagai penyempurna kegiatan pencegahan yang belakangan ini semakin marak dilakukan di Indonesia karena juga terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dengan semakin ramainya PMI yang berangkat secara resmi, maka perlahan tapi pasti angka pemberangkatan non-prosedural akan ikut berkurang. Karena menurut kami, pencegahan saja belum merupakan solusi yang tuntas, karena masih ada hajat hidup masyarakat yang belum terpenuhi, yaitu memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. (*)