Dakwah dan Politik

  • Bagikan

Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)

Banyak yang sangsi dapatkah mensinergikan politik dan dakwah, khususnya di Indonesia. Ada yang bilang, politik kita masih terlalu kotor untuk dijadikan alat tujuan dakwah. Dan Ustad atau dai kita terlalu naif jika ingin masuk ke dalam dunia politik. Bisa-bisa dia dirusak oleh lingkungan politik yang keras dan culas.

Namun di sinilah saya sekarang. Ditempa sebagai Muballigah lalu diamanahkan memegang jabatan Ketua DPD Partai Golkar Parepare. Pada tulisan sebelumnya, saya memaparkan kuatnya penolakan dari dalam diri untuk terjun ke dunia politik. Namun pada akhirnya, saya melihat ada jalan yang bisa merelasikan dakwah dan politik. Saya menganggap ini adalah takdir saya.

Sebenarnya, kecenderungan hati saya terhadap jalan dakwah masih lebih besar daripada politik. Ini karena pengaruh didikan Islam dalam keluarga, terutama ayah saya yang sangat kuat. Di usia 13 tahun, saya mulai membaca dan menelaah Ihya Ulumuddin. Sebuah karya dari seorang imam besar, Al Gazali yang seingat saya ayah sering kali berusaha menyembunyikan bukunya.

Penerapan syariat yang ketat juga masih saya jalani ketika sudah menjadi ibu. Terutama anak lelaki saya, Ilhamsyah Taufan, yang sejak umur 4 tahun sudah saya didik untuk Salat. Saya rasakan betul anugerah dari jalan dakwah ini. Terutama bagi putra saya itu. Ilham kini tak perlu lagi saya awasi, apalagi mengingatkan agar Shalat. Jika sudah waktunya, dia akan Shalat.

Bahkan Ilham dengan kesadaran penuh mewajibkan dirinya untuk tadarus satu lembar Alquran setiap pagi. Jika dia tak sempat, maka dia akan ganti pada waktu yang luang. Semacam Qada tadarrus. Hal inilah yang saya syukuri sebagai salah satu anugerah dari jalan dakwah.

Dakwah yang saya lakukan sebelum masuk ke dunia politik memang bersifat kultural. Ketika masuk ke politik, saya melihat ini sebagai dakwah struktural.

Seorang cendikiawan muslim pernah bertanya kepada saya, apakah saya akan mampu menyeimbangkan antara dakwah dan politik. Menurut beliau, ketika menjadi Dai, kita harus banyak bicara. Sementara menjadi politikus, kita harus banyak mendengar.

Bagi saya, tentang menjadi dai sekaligus politikus, ataupun menjadi pembicara atau pendengar, harus disesuaikan dengan konteks atau keadaan. Tujuan dakwah pada dasarnya adalah mengajak manusia mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Sementara tujuan politik adalah pengabdian kepada masyarakat. Insya Allah, saya Bismillah menjalaninya. (*)

  • Bagikan