Oleh : Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)
"Jika kamu ingin semua orang menyukaimu, jangan jadi pemimpin. Jualan es krim saja."
Kalimat di atas berasal dari seorang inovator kelas dunia, Steve Jobs. Kita semua tahu siapa dan bagaimana Jobs dalam memimpin Apple. Yang sangat terkenal dengan produk iPhonenya.
Jobs punya sejarah hidup yang amat menarik. Saking menariknya, kisah hidupnya dibuatkan film. Bukan hanya satu film. Tapi lebih.
Bagi yang pernah menonton filmnya, kita bisa lihat bagaimana keras dan tegasnya Jobs memimpin perusahaannya. Visinya yang sudah sangat jauh ke depan, ditambah karakternya sebagai pekerja sejati, menimbulkan dinamika dalam lingkungan perusahaan raksasanya.
Dia punya banyak julukan, yang membuatnya begitu dicintai, sekaligus dibenci. Namun di penghujung hidupnya, Anda bisa melihat bagaimana produk-produk Apple merebut hati. Dia akhirnya menjadi inspirasi dunia.
Kita kembali ke salah satu kalimatnya di atas. Yang menjadi quote favorit untuk tema atau konten-konten kepemimpinan. Jobs sadar betul, tidak mungkin menjadi pemimpin yang dicintai oleh semua orang. Karena tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua orang. Akan ada yang sepakat, akan ada yang menolak.
Semua yang jadi pemimpin, dulu dan kini, pasti merasakan, dan akan selalu mengatakan menjadi pemimpin tidaklah mudah. Banyak hal yang harus dikuasai. Pemimpin tidak saja dituntut untuk merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi kinerja, tetapi dia juga harus berhadapan dengan berbagai karakter hingga masalah yang berhubungan dengan kejiwaan orang-orang yang dipimpinnya.
Logikanya, seorang pemimpin pasti yang terbaik dari seluruh orang di lingkungannya. Maka dari itu, pemimpin harus memiliki sejumlah keutamaan. Pertama adalah memimpin diri sendiri. Dalam artian dia mampu tegas kepada diri sendiri dan mampu memberi arahan dan menerapkan hal-hal baik pada dirinya sendiri. Motivator-motivator kepemimpinan biasa meletakkan kedisiplinan pada poin utama. Tanpa kedisiplinan, akan sulit menjalankan roda kepemimpinan, di mana pun dia berada.
Sebaliknya, jika dia mampu mendisiplinkan dirinya, maka itu akan menjadi modal besar dalam menjalankan strategi kepemimpinannya. Dia mampu menunjukkan keteladanan dalam bekerja, yang pasti akan diikuti oleh bawahannya. Kedisiplinan juga berarti keteguhan dalam mengambil keputusan dan tanggungjawab. Meski keputusannya itu, akan ada yang tidak menyukainya, seperti kata Jobs.
Yang kedua adalah kesadaran penuh tentang tanggung jawab. Dalam literatur kepemimpinan Islam disebut dengan amanah. Ini lebih erat kaitannya dengan humanisme. Dia mampu menyangkal bahwa kepemimpinannya tidak dia dapat dengan usahanya sendiri, tapi atas takdir Tuhan. Pemimpin seperti ini, akan selalu gelisah karena selalu merasa diawasi langsung oleh Tuhan.
Jika dia birokrat, ada istilah pengawasan melekat. Bagi birokrat yang amanah, istilahnya diganti dengan pengawasan malaikat yang tentu efeknya lebih dahsyat karena seseorang akan merasa diawasi dan diperhatikan oleh sang pencipta langit dan bumi.
Karakter kepemimpinan selanjutnya adalah adil.
Tuhan memberikan kekuasaan dengan menitipkan keadilan. Semua ayat tentang kepemimpinan, selalu disertai dengan seruan keadilan. “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan kebenaran". (Q. S. Shaad : 26).
Tanpa keadilan, seorang pemimpin atau penguasa pasti hanya akan menimbulkan kerusakan. Seperti kekhawatiran para Malaikat yang terekam dalam Alquran. "… Apakah Engkau akan menciptakan orang-orang yang merusak bumi dan menumpahkan darah, sedangkan kami bertasbih, mengangungkan dan mensucikanMu." (Q. S. Al Baqarah : 30)
Sebagian besar ahli tafsir mengemukakan pendapatnya tentang ayat di atas, bahwasanya, khalifah atau penguasa yang baik adalah yang menjaga wilayahnya dari kerusakan (yufsidu) dan mencegah terjadinya pertumpahan darah (yusfikud dimaa). Makna kerusakan di sini tentu sangat luas. Mulai menjaga wilayahnya dari kemaksiatan, menjaga aparatnya dari korupsi, menjaga alam agar tidak dirusak dan lain sebagainya.
Ketiga adalah ilmu. Seorang pemimpin tentu harus punya pemahaman yang mendalam. Terutama strategi dalam mencapai targetnya dan karakter orang-orang yang dipimpinnya.
Dan keempat adalah tawakkal atau penyerahan keputusan akhir kepada Yang Maha Berkuasa. Begitu banyak keputusan sulit yang harus diambil ketika seseorang menjadi pemimpin. Namun sebagai seorang manusia, sekalipun dia disiplin, punya banyak pengetahuan, amanah dan adil, dia tidak punya kekuasaan untuk mengatur jalannya kehidupan ini. Kita tak pernah tahu apakah besok semua akan sukses, ataukah sebaliknya, usaha gagal.
Dalam Islam, model kepemimpinan yang paripurna hanya dimiliki oleh satu orang, yakni Nabi Muhammad Saw. Darinya lah seluruh teladan kepemimpinan berasal.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah," (Surah Al Ahzab : 21). Itulah yang seharusnya kita ikuti. (*)