Lupa Diri

  • Bagikan

Oleh : Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)

Orang-orang bijak banyak menyampaikan pandangan-pandangannya tentang kehidupan melalui metafora alam. Ada yang mengumpamakan kehidupan dunia ini seperti lautan yang penuh dengan ombak.

Pada orang yang beriman dan tidak beriman, sama-sama tahu lautan sewaktu-waktu akan mendatangkan ombak bahkan gelombang. Namun keduanya berbeda dalam menghadapi ombak.

Orang yang beriman akan mengarungi ombak dan gelombang itu dengan keyakinan. Keyakinan itu ditopang oleh adanya tujuan yang jelas. Sekalipun dipermainkan ombak dan dihantam gelombang, mereka tetap tahu akan ke mana. Meletihkan, tapi akan sampai jua.

Sementara orang tidak beriman, ombak akan menghanyutkan dirinya. Serbuan gelombang menghempasnya. Dirinya dipermainkan oleh nyanyian ombak atau deru gelombang membawanya tak tentu arah. Mereka tak punya tujuan. Sehingga akan tersesat di tengah samudera kehidupan.

Manusia juga kadang diumpamakan seperti hewan. Jalaluddin Rumi, seorang sufi seringkali menggunakan metafora hewani dalam syair-syairnya. Dalam salah satu matsnawinya, Rumi mengangkat kisah tentang Singa yang lupa diri dan akhirnya jatuh dalam kebinasaan.

Singa tahu semua penghuni hutan tunduk atas keanggunan dan keperkasaannya. Namun suatu waktu, kelinci menghasut bahwa ada yang seperti dirinya. Seekor singa lainnya yang sering menampakkan diri di sebuah sumur tua.

Singa itu pun mendatangi sumur tersebut. Saat menatap ke dalam, dia benar-benar melihat singa yang seperti dirinya. Dia pun dengan amarah menerjang ke dalam sumur. Dan ternyata, singa itu hanya bayangan dirinya.

Rumi memberikan kita kebijaksanaan pentingnya mengenali diri. Segala permusuhan yang kita rasakan terhadap orang lain pada hakikatnya terjadi karena terlewatinya batas diri. Padahal, musuh sejati adalah nafsu yang menetap dalam diri.

Kezaliman yang kita lihat pada orang lain, pada dasarnya juga ada dalam diri kita. Tapi kita selalu mengira itu hanya ada pada orang lain. Sang singa baru menyadari tentang dirinya saat sudah berada di dasar sumur. Sudah terlambat, bukan?

Seluruh kebijaksanaan itu memang selalu mengarah pada diri. Yang di dalam diri terdapat Shudur. Yang kepadanya ditanamkan takwa dan nafsu.

"Dan demi jiwa dan kesempurnaannya * Maka Dia mengilhamkan (jalan) kejahatan dan ketakwaan * Maka sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya * Dan sungguh celaka yang mengotorinya " (Q. S. Asyams ayat 7 - 10).

Dalam sabdanya, Rasulullah Saw juga mengingatkan sesuatu dalam diri kita yang harus terus dijaga. "Jika dia baik, maka baiklah seluruh dirinya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh dirinya. Ingatlah, itu adalah hati." (*)

  • Bagikan

Exit mobile version