Catatan: Haerul Akbar
Selama kampanye pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres), tidak kurang lima kali sudah menjadi narasumber di televisi nasional. Plus puluhan tulisan serta komentarnya di media cetak dan online terkait pilpres itu. Sorotannya lumayan tajam. Namun, tetap dalam rel seorang akademisi. Ada rujukan ilmiahnya.
Dia adalah Doktor Hasrullah. Pengajar komunikasi politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Hasanuddin. Boleh saja kediaman Hasrullah ada di Makassar. Kampus tempat dia mengabdi pun berlokasi di Makassar. Jauh dari Jakarta, markas besar televisi itu. Tapi, sosoknya menarik perhatian pimpinan media di Jakarta. Ya, lebih 5 kali sudah selama musim kampanye pilpres dia live.
Sudah lama saya cermati buah pikiran Hasrullah, terutama dalam hal komunikasi politik. Dia memang rajin menulis di media massa. Sejak zaman Orde Baru. Puluhan tahun lalu, hingga saat ini. Aktual dan faktual.
Bukan hanya itu. Ada satu buku yang dia tulis cukup menarik dibaca. Judulnya: Dendam Konflik Poso. Buku yang membahas konflik sosial, agama, yang di baliknya ada susupan politik. Dia kupas dari dimensi komunikasi politik.
Pekan lalu, Hasrullah tampil dalam program Sapa Malam-nya KompasTv. Kali ini, live bersamaSulistyowati Irianto, guru besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia. Saat itu, KompasTv membahas topik: Gelombang Suara Kampus Kritik Demokrasi Era Jokowi.
Baik Hasrullah maupun Sulistyowati bicara lumayan tajam. Tapi, itu tadi, tetap dalam rel sebagai akademisi. Menyorot, mengkritik, tapi disertai saran. Misalnya, penegasan Hasrullah bahwa, pemerintah jangan sekadar mempertontonkan dramaturgi yang hanya bersifat persuasif, tapi sangat mengganggu kenyaman berdemokrasi. Ia mengingatkan agar pemerintah merespons peringatan orang-orang kampus itu secara positif. Ia khawatir bisa memicu gelombang besar.
Kemarin malam, penggagas kuliah kerja nyata (KKN) Kebangsaan yang sudah dilaksanakan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia itu, tampil lagi di KompasTv. Kali ini menyoroti kritik Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada Presiden Jokowi dan paslon 02 pasca mundur sebagai komisaris Pertamina. Ahok kini bergabung dalam tim Ganjar-Mahfud, paslon 03 dalam pilpres.
Pernyataan Ahok itu memantik dukungan dan serangan. Didukung oleh simpatisan yang “oposisi” – baik terhadap presiden maupun paslon 02. Namun, diserang oleh mereka yang pro-pemerintah dan pendukung paslon 02.
Dukungan dan serangan kepada Ahok itu menjadi ramai, baik di media mainstream maupun media sosial. Ada yang kasih jempol, tapi tak sedikit yang mem-bully. Meski sudah diklarifikasi,tapitetap saja Ahok disebut kacang lupa kulit kepada Jokowi.
Tapi, serangan balik dari pendukung Ahok lebih kencang lagi. “Masih lebih bagus mana, kacang lupa kulit atau jadi Malin Kundang? Istilah Malin Kundang, bisa jadi, dialamatkan kepada Jokowi yang dianggap mengkhianati Megawati, ketua umum PDIP.
Menanggapi ramainya dukungan dan serangan kepada Ahok itu, Hasrullah – dalam live di KompasTv itu -- menyorong teori interpretasi-nya Paul Ricoeur. Teori itu sendiri bicara tentang bagaimana memaknai dan memahami makna sebuah diksi atau narasi.
Menurut komunikolog ini, jangan terlalu terkecoh dengan diksi Ahok. Bisa jadi apa yang disampaikan itu terdengar kencang, namun di balik itu ada makna lain. Yakni, pengalihan isu. Diksi-diksi Ahok itu bisa dimaknai sebagai sebuah skenario, agar gerakan-gerakan sivitas akademika sejumlah perguruan tinggi di Indonesia yang mengkritisi pemerintahan Jokowi tidak ter-blowup. Tenggelam oleh pertentangan narasi Ahok, terutama di media sosial.
Pendapat Hasrullah punya dasar. Ahok bukan kenalan biasa Jokowi. Mereka bahkan disebut sebagai sahabat yang memiliki chemistry kuat. Pernah jadi teman duet memimpin Jakarta. Kalau sekarang beda kubu, itu adalah pilihan politik. Tapi tidak serta merta melunturkan total chemistry itu.
Opini yang disampaikan Hasrullah itu, bisa jadi tidak sejalan dengan pendapat sebagian kalangan. Tapi, paling tidak, suara Hasrullah sudah terdengar dan tersebar luas di luar kandangnya: Universitas Hasanuddin. Suaranya sudah lintas kampus, lintas pulau. Jejak digitalnya sudah lintas benua.
Hasrullah telah banyak bersuara. Mengeluarkan pendapat atau analisa soal pilpres. Sependapat atau tidak, itu soal lain. Tapi, setidaknya, suara Hasrullah telah memantik orang lain untuk ikut berpikir. Syukur-syukur kalau juga mau bersuara. (*)
Pembina Distara Institut Pro-Media Nusantara