Oleh: Haerul Akbar
(Alumni Fisip Unhas)
Dalam pekan ini, dua video “gangguan” kampanye pilpres masuk di grup whatsapp (WA) saya. Video pertama, kampanye pasangan Ganjar-Mahfud di Manado yang diselingi teriakan: Prabowo.. Prabowo.. oleh seorang pria. Orangnya keciduk dan diinterogasi tim Ganjar-Mahfud.
Video kedua, kampanye Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) yang diganggu nyanyian: “…Terima kasih Prabowo-Gibran … Terima kasih Prabowo-Gibran …” oleh sejumlah orang yang berada di sekitar lokasi kampanye. Tidak disebutkan di daerah mana. Namun, mendengar “paduan suara” mereka, tampaknya provokasi ke AMIN itu terorganisir.
Saya tidak ingin lebih jauh masuk ke wilayah teknis video itu. Saya memilih fokus kepada tujuan dari mereka yang membuat dan men-share rekaman gambar hidup itu.
Video pertama, disebar oleh simpatisan Ganjar-Mahfud. Sebagai penyampaian kepada publik bahwa ada simpatisan Prabowo-Gibran menyusup dan mengganggu kampanye Ganjar-Mahfud. Pesan moralnya: betapa simpatisan itu tak beretika.
Video kedua, disebar simpatisan Prabowo-Gibran. Tujuannya: mengolok dan mempermalukan AMIN. Bahwa lihatlah, di kampanye AMIN pun nama Prabowo-Gibran bergema. Terlebih di video itu disertai teks: wkwkwkwk sakit tak berdarah. Pundi bagian bawahnya ada tulisan: Ngga bahaya TAA teriak Prabowo Gibran di hadapan Anis Baswedan.
Bagi simpatisan Ganjar-Mahfud, memviralkan video pertama tadi bisa jadi sekadar menyampaikan pesan ke khalayak: nih, ada simpatisan tak beradab.
Namun, bagi pendukung Prabowo-Gibran, memviralkan video kedua itu, seperti sebuah kemenangan terhadap Anies-Muhaimin sebelum hari pencoblosan.
Sayang, apapun di balik itu, viralnya kedua video tersebut tak menguntungkan Prabowo-Gibran. Sebaliknya, karena ulah simpatisan, mencederai slogan gemoy mereka.
Ada yang tidak disadari, gerakan-gerakan paslon dan pendukungnya saat ini tengah diamati oleh satu bagian masyarakat yang belum berada di kubu paslon manapun. Namanya: floating mass atau massa mengambang.
Floating mass bukanlah mereka yang termasuk dalam golongan putih atau golput yang tidak menentukan suatu pilihan. Mereka akan memilih, namun belum menentukan memilih siapa. Mereka masih mencermati. Pencermatannya, bisa melalui rangkaian debat yang disiarkan langsung sejumlah televisi nasional. Bisa juga melalui rekam jejak yang berseliweran di dunia digital, termasuk adab para pendukungnya.
Jangan anggap remeh floating mass itu. Tahun lalu, Lembaga Studi Visi Nusantara (LS-Vinus), melakukan survei di Kabupaten Bogor. Hasilnya, jumlah massa mengambang di Pemilu 2024 diperkirakan mencapai 24 persen. Mengalahkan raihan suara Partai Gerindra sebagai pemenang pileg 2019 di sana yang hanya 17 persen.
Lalu, apa hubungan floating mass dengan kedua video tadi? Sebagai kelompok yang masih mencermati, video-video itu bisa menggiring opini mereka ke sisi negatif. Mereka akan melihat betapa kurang eloknya kelompok fanatik Prabowo-Gibran itu yang tiba-tiba muncul, berteriak dengan nada melecehkan di sekitar panggung “pesta” paslon lain.
Di kelompok floating mass, viralnya kedua video tersebut, sekali lagi, tidak menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran. Bahkan, bisa jadi, karena video itu ada yang semula teguh pendirian mendukung Prabowo-Gibran, menjadi balik haluan. Kembali ke kelompok floating mass.
Di pekan ini juga, sahabat saya -- seorang guru yang berdinas di luar Pulau Sulawesi -- bertanya kepada saya di grup WA, “Anda di kubu mana?” Saya jawab: masih di kelompok floating mass. Menunggu debat terakhir pada 4 Februari 2024. Hehe..
Siapa pun itu, berhentilah memprovoksi. Jangan sampai karena ulah tak elok satu atau puluhan pendukung -- yang kemudian viral di media sosial -- malah berbalik memupuskan harapan menjaring sejuta floating mass. (*)