Iran Menghukum Israel, Satu Realitas Beribu Narasi

  • Bagikan

Oleh : Muhammad Rusli Malik

Apa yang dilakukan Iran terhadap Israel pada 13/14 April 2024 lalu bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Benang merah realitasnya panjang ke belakang, bahkan jauh sebelum Revolusi Islam 1979.Kita mulai dari 1953, ketika dinas intelijen Amerika dan Inggris, melalui militer Iran, menjatuhkan Perdana Menteri Mossadegh—yang terpilih secara demokratis.

Narasi yang mereka bangun dan diulang-ulang adalah bahwa 'Kudeta 28 Mordad' tersebut demi menyelamatkan Iran dari Komunisme Soviet. Padahal, faktanya, Mossadegh telah menasionalisasi seluruh perusahaan minyak milik Inggris.

Sejak itu Amerikalah yang mengendalikan Syah Iran. Demokrasi tinggal isapan jempol. Monarchi kian absolut. Modernisasi (lebih tepatnya: Westernisasi) Iran bermakna penyingkiran ulama dan kepentingan rakyat dari negara. Imam Khomeini, ulama terkemuka dan simbol perlawanan rakyat, ditangkap lalu dibuang ke luar negeri.

Sejak itu, kekayaan Iran mengalir deras ke Barat.Ending-nya bisa ditebak. Revolusi rakyat meletus. Reza Pahlevi yang disokong sepenuhnya oleh Amerika, Inggris, Israel dan negara-negara Barat lainnya, jatuh dan meninggalkan Iran untuk selamanya. Tak lama kemudian Imam Khomeini kembali dari pengasingannya.

Dalam Referendum Nasional yang diadakan pada 30 dan 31 Maret 1979, 98 persen rakyat Iran menjatuhkan pilihannya pada bentuk Republik Islam. Sehingga pada tanggal 12 Farvardin (1 April 1979) Republik Islam Iran lahir. Di antara program pertama dan utama yang dilakukan Republik Islam yang baru berdiri itu adalah, pertama, “Mengusir Israel lalu menyerahkan kantor kedutaannya kepada Palestina”.

Kedua, “Mencanangkan tiap Jumat terakhir Bulan Ramadhan sebagai Hari Alquds, hari protes terhadap pendudukan Israel atas tanah bangsa Palestina.”

Demo Alquds ini masih berlangsung hingga sekarang. Kian membesar. Dan kian meluas ke seluruh penjuru dunia. Walaupun Israel beserta sekutu-sekutunya (negara, institusi, dan perorangan) berusaha sekuat tenaga untuk menghentikannya. Misalnya dengan membangun stigma negatif dan narasi kebencian terhadap Iran dan Syiahnya.

Saat usianya baru setahun (1980), Amerika, Israel, dan negara-negara Barat lainnya mendorong dan mempersenjatai Saddam Husein—termasuk senjata pemusnah massal— untuk mencaplok Iran. Perang Irak-Iran berlangsung selama 8 tahun. Dan Irak (artinya: Amerika, Israel, dan negara-negara Barat lainnya) bertekuk lutut.

Melalui perang panjang yang memakan korban jutaan jiwa itu, Iran menyadari pentingnya menguasai teknologi dan persenjataan secara independen.

Pembangunan reaktor nuklir, yang dibangun sejak zaman Syah Iran atas bantuan Barat, diteruskan. Tapi kini Amerika, Barat dan Israel justru mati-matian berusaha menghentikannya. Dengan cara diplomatik dan dengan cara-cara kotor.

Banyak ilmuwan nuklir Iran yang jadi korbannya. Ada yang diteror. Ada yang dibunuh. Ada yang dilenyapkan. Perjanjian JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action / Rencana Aksi Komprehensif Bersama) yang dicapai setelah perundingan bertahun-tahun bersama dengan AS, Inggris, Perancis, Rusia, Tiongkok ditambah Jerman (5+1), dirobek begitu saja oleh Presiden Donald Trump.

Pada 3 Januari 2020, drone Amerika Serikat yang diluncurkan dari Pangkalan Militernya di Ain al-Asad, membunuh Jenderal Qassem Suleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis. Banyak berita, tapi nyaris tak ada kutukan, padahal ini nyata-nyata tindakan teroris.

Saat memperingati haul (Hari Terbunuhnya) Soleimani Januari lalu (2024) di Kerman, teroris meledakkan dua bom di tengah-tengah ribuan peziarah. Sebanyak 103 orang meninggal dan 141 orang terluka. Dan tak ada kecaman dari Amerika, Israel dan negara-negara Barat—padahal mereka paling sering mewartakan dirinya sebagai anti teroris.

Alih-alih anti teroris, selama enam bulan ini, Israel justru mempertontonkan dirinya di Gaza sebagai negara teroris. Tak saja gedung-gedung dan rumah-rumah penduduk, tapi juga sekolah-sekolah, tempat-tempat ibadah, rumah sakit-rumah sakit, tenda-tenda pengungsian, dan orang-orang yang kelaparan antri makanan pun dibombardir.

Total korban jiwa sudah lebih dari 33 ribu. Mayoritasnya adalah anak-anak dan perempuan. Amerika terus mengirim senjata dan amunisi ke Tel Aviv. Negara-negara Barat memberikan dukungan ‘moral’ dan diplomatik. Sementara negara-negara Arab di sekitarnya mayoritas memilih bungkam atau bekerja dalam senyap memfasilitasi genosida Israel terhadap bangsa palestina.

Kendati demikian, Israel tetap tak mencapai satupun tujuannya. Hamas dan kelompok perlawanan tetap kuat sementara IDF kian kelelahan, banyak korban, dan tak sedikit yang memilih membangkang.

Israel menganggap, penyebab semua petaka itu adalah Iran. Maka pada 1 April lalu, dari pangkalan militer utamanya di Negev, tanah yang ia duduki (occupied land), Israel membombardir konsulat Iran di Damaskus dan menewaskan dua jenderal Iran. Kabar berseliweran, tapi lagi-lagi tak ada kecaman dari Amerika dan negara-negara Barat, pun dari PBB.

Karena PBB tak lagi mampu menegakkan maruahnya berdasarkan Piagamnya, maka Iran—sebagai negara anggota yang hak-haknya dijamin oleh Piagam tersebut—bertindak sendiri, menghukum arogansi Israel, berdasarkan Pasal 51. Yaitu dengan meluncurkan lebih dari 200 rudal dan drone kamikaze ke Pangkalan Angkatan Udara 28, salah satu pangkalan militer terbesar milik IAF (Israel Air Force) di Nevatim, Negev.

Kali ini, barulah Sekjen PBB, Antonio Guterres, menyampaikan kecaman kerasnya, menyusul kecaman Amerika dan negara-negara sekutu Baratnya. Lalu disusul oleh negara-negara, lembaga-lembaga, dan individu-individu yang terafiliasi (langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar) dengan Israel. Bagaikan orkestra.

Lantas kenapa AS tidak terlibat? Bukan karena telah siul-siulan bawah meja dengan Iran, seperti opini dan beribu narasi distorsif yang dibangun dan direproduksi terus-menerus. Melainkan karena telah merasakan pahitnya pembalasan Iran di Markas Ain al-Asad sebagai hukuman atas kematian Soleimani.

Terus kenapa serangan Iran tanggung begitu? Kenapa tidak sekalian menghabisi Israel? Iran adalah sebuah negara yang kata “Islam” melekat pada namanya. Bagi mayoritas masyarakat Iran dan ulamanya, nama itu bukan hanya tempelan. Nama itu harus punya roh.

Substansi hukum dalam Islam adalah qishash. Yaitu penghukuman yang sepadan. “Bulan haram dengan bulan haram, dan semua yang dihormati berlaku (hukum) qisas (padanya). Oleh sebab itu siapa saja yang menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS.2:194)

Juga tidak boleh melampaui batas. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.2:190)

Tapi bukankah Israel telah membunuh puluhan ribu rakyat Palestina? Urusan Palestina bukan hanya urusan Iran. Melainkan urusan seluruh negara Arab dan negara Muslim. Bahkan urusan seluruh bangsa-bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Pertanyaan yang seharusnya dicuatkan: Apa peran mereka semua dalam menghentikan kejahatan kemanusiaan dan genosida yang sedang dilakukan Israel dan didukung sepenuhnya oleh Amerika dan negara-negara Barat? (***)

  • Bagikan

Exit mobile version