Orang-orang yang Ketakutan

  • Bagikan

Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)

Meraih kebahagiaan yang hakiki sudah ditunjukkan dalam Alquran. Namun sebagian besar dari kita masih mengejar kesenangan yang kita sangka sebagai kebahagiaan. Tentu ada perbedaan besar antara kesenangan dan kebahagiaan. Seperti bedanya kebutuhan dan keinginan.

Salah satu yang menghalangi kita dari kebahagiaan hakiki adalah rasa takut. Dalam ilmu psikologis, takut adalah sifat dasar manusia. Takut itu manusiawi. Rasa takut membuat kita waspada terhadap keadaan sekeliling. Pada tingkat yang lebih tinggi, takut bisa menyelamatkan dari kehancuran.

Namun dalam tinjauan kehidupan di zaman ini, kita bisa menyadari betapa banyaknya orang yang hidup dalam ketakutan. Baru-baru ini, dunia dikejutkan dengan konfrontasi Iran dan Israel. Banyak yang takut perang akan pecah. Bukan hanya di Timur Tengah, tapi Perang Dunia III. Para analisis membuat pernyataan yang beraneka ragam. Mulai dari naiknya harga minyak dunia, emas hingga inflasi global.

Di Indonesia, hari ini kita mendapatkan informasi Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan. Informasi ini jelas menakutkan bagi banyak orang. Kita belum tahu langkah apa yang akan diambil pemerintah untuk menahan laju inflasi yang menjadi efek berikut dari naiknya suku bunga acuan hingga 6,25 persen. Tapi yang jelas, kita harus bersiap-siap menghadapi gejolak ekonomi. Rasa takut membuat kita waspada.

Kondisi perekonomian dan gaya hidup membuat banyak orang takut kehilangan kekuasaan atau jabatan. Orang-orang yang ketakutan atas risiko duniawi menjerumuskan dirinya dalam lembah kesengsaraan. Dia merasa mempertahankan kekuasaan dan jabatan itu sama dengan mempertahankan kebahagiaan. Dia merasa sedang menuju puncak kebaikan. Padahal sebaliknya, dia meluncur ke jurang yang menghancurkan jiwanya.

Jadilah kita lihat ada orang munafik di sekitar kita. Ada yang menjilat atasannya sambil menjatuhkan orang yang dianggap sebagai lawan potensialnya. Dia menghendaki kebaikan untuk dirinya sendiri, tanpa memperdulikan agama dan moralitas.

Dalam Alquran, kata takut atau khawatir seringkali diulang-ulang dalam ayat tentang kisah-kisah orang terdahulu ataupun ayat peringatan. Kita bisa membaca bagaimana ketakutan Nabi Musa As saat akan menghadapi Firaun yang super bengis dan zalim. Padahal menurut hikayat, Nabi Musa sendiri memiliki postur tubuh yang besar dan kekar. Dia pernah meninju seorang bangsawan Mesir dan orang itu mati dalam sekali pukul. Meski begitu, Musa As pun bisa dibekap rasa takut.

Dari kisah Nabi Musa As, kita bisa belajar bagaimana seorang Nabi yang perkasa ini mengelola ketakutannya sesuai tuntunan Allah Swt. Dia menyerahkan urusannya kepada Tuhannya. Dia mengadukan dan mengarahkan ketakutannya hanya kepada Allah swt.

Bagaimana pun, kita harus menancapkan kesadaran dalam diri yang sedalam-dalamnya, bahwa segala urusan kita sudah ditentukan. Bahkan sebelum kita lahir ke dunia ini, takdir kita sudah duluan ada. Hanya dengan menerima dan rela dengan takdir, maka Insya Allah kita akan menuju ke gerbang kebahagiaan yang hakiki.

Rezeki kita, anak-anak kita, itu sudah ditentukan oleh Allah. Rezeki itu termasuk jabatan dan kekuasaan. Bahkan Allah sudah menentukan rezeki bagi makhluk melata.

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberinya rezeki. Dan Dia mengetahui tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhin Mahfuz)," (QS. Hud : 6).

Dalam ayat lain, Allah Swt juga berfirman, "Kamilah yang memberimu dan anak-anakmu rezeki," (QS Al An'am : 151).

Soal takut ini, ada hadist Nabi Saw yang berbunyi. "Sesungguhnya orang yang beriman itu, segala sesuatu itu akan takut atau tunduk kepadanya."

Dalam redaksi lainnya, beliau Saw bersabda, "Sesungguhnya seorang mukmin itu ketika tulus ikhlas kepada Allah, Allah akan membuat segala sesuatu takut kepadanya. Sampai makhluk melata di bawah tanah, hingga burung di langit dan makhluk lautan pun akan takzim kepadanya." (*)

Editor: PARE POS
  • Bagikan

Exit mobile version