Adab dan Pena

  • Bagikan

Oleh : Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)

Beberapa malam yang lalu, saya menggelar kajian bersama teman-teman jurnalis di Parepare, di Media Kafe Pare Pos. Kami diskusi tentang banyak hal. Selain tema agama, juga dunia jurnalistik.

Saya mengangkat sebuah pengalaman yang tampaknya sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan dan pejabat. Tentang oknum wartawan yang melakukan liputan investigasi atas dugaan korupsi salah seorang kepala daerah.

Rupanya, investigasi itu tidak murni untuk mengungkap kebenaran sebagaimana layaknya liputan investigasi. Namun untuk mendapat keuntungan dari pejabat yang namanya terseret dalam dugaan korupsi. Singkat cerita, oknum wartawan itu dipanggil oleh pejabat tersebut dan diberikanlah sejumlah uang. Tentu saja oknum itu menerimanya. Liputan investigasinya berhenti. Kebenaran ikut tersembunyi.

Pesan dari cerita di atas adalah kurangnya adab. Setinggi apapun ilmunya, jika tidak didukung adab, semua sia-sia. Bahkan bisa merusak. Oknum wartawan tadi adalah contoh paling kecil. Laporan investigasi itu tentu butuh ilmu. Ketika menjadi penyiar di TVRI Makassar, saya memahami bahwa investigasi adalah ilmu tingkat tinggi dalam jurnalisme. Namun oleh oknum wartawan itu, ilmunya jadi menyimpang. Karena apa? Karena tiadanya adab.

Napoleon Bonaparte pernah berkata, 'Aku lebih takut pada seorang yang memegang pena daripada seorang prajurit yang memegang senjata'. Pernyataan sederhana ini tak perlu penafsiran yang mendalam untuk memahaminya. Sebutir peluru, bisa membunuh satu orang. Tapi dari satu pena, isinya bisa memicu perang dan membinasakan kehidupan. Jika pena itu dipegang oleh orang yang tidak beradab, dan didukung pula oleh penguasa yang zalim, maka kehancuran niscaya akan nampak di muka bumi ini.

Ketika ditanya tentang ayat 6, Surat At Tahrim (Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, mereka diawasi oleh para malaikat yang perkasa nan menakutkan, yang tidak akan mengingkari perintah Allah dan mematuhi apapun yang diperintahkanNya), Ibnu Abbas menjawab, ayat tersebut adalah tentang keutamaan pendidikan adab kepada keluarga.

Adab adalah cerminan atau manifestasi nurani. Ketika mewujud dalam prilaku, dia dinamakan akhlak. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari adab. Mulai dari hal yang privasi seperti tidur, berjalan, mandi, makan, hingga ke kehidupan sosial. Terlebih lagi pada praktik ibadah. Tentu saja adab kepada Allah adalah yang terutama, disusul adab kepada Rasulullah dan kepada makhluk.

Banyak yang bilang, era digitalisasi sekarang adalah puncak peradaban manusia modern di mana teknologi sudah begitu canggihnya. Tetapi di sisi lain, kita melihat banyaknya kerusakan moral, baik dalam skala kecil hingga yang terbesar saat ini; kebiadaban Israel terhadap rakyat Palestina. Semua kerusakan itu karena ketiadaan adab.

Kita semua, terutama orang tua, dan para pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam mendidikan adab anak-anak dan bawahan kita. Harus diingat, pendidikan adab bukanlah pendidikan yang hanya memerlukan waktu setahun, dua tiga tahun. Adab adalah pendidikan seumur hidup kita.

Imam Malik, pencetus mazhab Maliki yang menghafal lebih satu juta hadist, mempelajari adab selama 20 tahun. Baru setelahnya belajar ilmu selama 10 tahun. Begitu juga dengan imam-imam mazhab lainnya. Mereka lebih dulu belajar adab, baru belajar ilmu.

Puncak adab akan mencetak kesadaran diri yang paripurna. Ketika kita menjaga adab, Allah akan menganugerahkan kecepatan dalam menyerap ilmu agama.

Kedua, adab akan menghindarkan orang dari godaan dunia yang merusak dirinya dan orang lain. Ketiga, adab akan membawa seseorang memahami takdir dirinya, yang dengan itu akan menerima apapun yang ditentukan Allah atas hidupnya. (*)

Editor: PARE POS
  • Bagikan