Setelah Memaafkan

  • Bagikan

Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan

(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)

Perjalanan udara dari tanah suci kembali ke Indonesia adalah perjalanan yang memakan waktu cukup lama. Di dalam pesawat, di atas ketinggian sekitar 35.000 kaki, saya mencoba menghalau rasa bosan dengan murajaah atau mengulang-ulang kembali hafalan. Saya berhenti pada ayat yang mengisahkan diturunkannya Nabi Adam As beserta istrinya, Hawa dari Surga ke dunia.

Kita semua tahu, Nabi Adam beserta istrinya telah melanggar peringatan Allah Swt agar tidak memakan buah dari Pohon Khuldi. Nabiyullah pun memohon ampunan Allah dengan doa yang sangat indah. Doa ini pun sering kita lantunkan seusai salat.

"Duhai Tuhan kami, sungguh kami telah menzalimi diri kami, dan sekiranya Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami, sungguh kami akan masuk dalam golongan orang yang merugi." (QS Al A'raf : 23).

Allah Swt kemudian memaafkan kesalahan Nabi Adam dan Hawa Alayhimas Salam. Namun setelahnya, keduanya tidak lagi diperkenankan tinggal di Surga. Melainkan diturunkan ke dunia hingga keduanya wafat.

Dari ayat ini, saya berpandangan pengampunan Tuhan tidak semuanya bisa membuat kondisi kita bisa kembali ke seperti sedia kala. Tiap kesalahan akan tetap menimbulkan konsekuensi. Ada hukum sebab akibat. Saat Rasulullah Saw berhasil menaklukkan Kota Makkah, beliau diberikan daftar orang-orang yang memusuhi Islam. Menurut riwayat, ada ribuan daftar nama lengkap bersama kesalahan-kesalahannya. Apakah Rasulullah memaafkan semuanya? Ternyata tidak. Beliau memang memberikan pengampunan kepada sebagian besar 'terpidana', namun tetap menghukum orang yang kesalahannya sudah kelewat batas.

Secara logika saja, tidak semua kesalahan bisa dihapus hanya dengan meminta maaf. Bisa bayangkan betapa kacaunya dunia ini jika semua penjahat dimaafkan kejahatannya. Pelaku kejahatan tentu akan merajalela karena tahu kejahatannya akan tetap dimaafkan.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering sekali menemukan orang-orang yang mengecewakan. Bahkan ada yang bebal. Nyata-nyatanya salah, tapi tetap saja membela dirinya dengan berbagai macam alasan. Yang lebih parah lagi, kesalahannya tersebut tidak membuatnya merasa bersalah, sehingga dia tanpa beban mendesak kita memberinya maaf.

Maka prinsip saya, ketika mendapati orang yang saya yakin telah berbuat kesalahan, bisa saja saya memaafkannya. Namun setelahnya, dia tetap harus menerima konsekuensi atas perbuatannya. Apalagi jika perbuatan itu sudah merugikan banyak orang.

Inilah yang saya terapkan dalam kepemimpinan di berbagai organisasi yang diamanahkan kepada saya. Baik organisasi politik maupun organisasi sosial. Sama dengan pelaku kejahatan yang saya sebutkan di atas, jika memaafkan berarti mengembalikan orang itu pada posisinya yang semula, maka kita tidak bisa mendapatkan manfaat apa-apa. Malah rugi kita. Orang lain bisa terpengaruh. Bisa kecewa dan akhirnya ikut berbuat kesalahan karena tahu dirinya pasti akan dimaafkan.

Dalam kehidupan ini, masih begitu banyak orang yang baik. Orang yang loyal dan memiliki kemampuan. Dalam organisasi-organisasi yang saya pimpin, saya tidak pernah merasa kekurangan orang berbakat. Mereka hanya perlu diberikan peluang untuk menunjukkan keseriusan, kapabilitas, loyalitas dalam membangun organisasi yang membawa manfaat bagi orang banyak.

Secara pribadi, saya tidak ingin menyimpan dendam. Kepada siapapun itu. Imam Ali Kwh pernah mengatakan, semakin pendendam seseorang, semakin tidak tentram hidupnya. Perkataan beliau juga selaras dengan penelitian-penelitian medis yang mengungkapkan, menyimpan dendam bisa mendatangkan banyak penyakit. Dan saya tidak mau itu. Kita semua tidak mau jadi pribadi pendendam.

Alquran memang membolehkan kita membalas perbuatan orang yang menzalimi kita. Sepanjang balasan itu setimpal dengan apa yang kita rasakan. Atau kerugian yang kita derita. Namun jika kita bisa memaafkan, itu jauh lebih baik.

"Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS An Nur : 22).

Meski demikian, kita semua perlu mengingat bahwa memberi maaf itu tidak semudah yang kita bayangkan. Sama dengan memohon ampunan, bahkan dengan beristighfar pun belum tentu seluruh dosa-dosa kita akan diampuni. Ahli hikmah memberikan kita tiga syarat agar maaf itu terpenuhi. Pertama, menghapus rasa sakit hati akibat perbuatan buruk orang lain kepada kita. Berat kan?! Tapi itu baru yang pertama.

Kedua, menghilangkan keinginan untuk membalas dendam. Perlu saya garisbawahi, balas dendam itu tidak sama dengan memberikan pelajaran kepada orang yang kita maafkan. Dendam itu sifatnya merusak diri dan orang lain. Sedangkan memberi pelajaran itu sifatnya konstruktif dan membawa manfaat kepada diri dan orang lain.

Yang ketiga adalah mengubur keinginan untuk mengungkit kesalahan orang tersebut di masa depan. Biasanya, kita masih sering menceritakan kesalahan orang lain kepada siapa yang kita temani bercerita. Sederhananya, kita harus menutupi aib orang tersebut.

Dengan memenuhi kriteria ini, maka kita menjadi pribadi yang pemaaf yang Insya Allah akan mendapatkan rahmat Allah, sebagaimana yang dimaksud dalam Surah An Nur ayat 22 di atas. Jika kita menjadi pribadi pemaaf, maka Tuhan pun akan lebih mudah memaafkan dosa-dosa kita. Jika dosa-dosa kita diampuni, pasti kita akan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (****)

  • Bagikan