Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Pembina Forum Kajian Cinta Alquran Parepare)
Hari Agung Idul Adha, atau juga biasa kita sebut Idul Qurban, selayaknya kita rayakan dengan suka cita dan penuh kegembiraan. Pada Hari Raya Idulfitri, sebagian kaum muslimin mungkin saja merasa enggan merayakannya karena merasa tidak maksimal selama menjalankan ibadah di Bulan Ramadhan. Merasa tidak memenuhi hadist Nabi Saw; "Seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya."
Namun Idul Adha, suka cita itu berasal dari sebuah harapan besar. Harapan dari doa-doa yang dipanjatkan oleh para jamaah haji dalam wukufnya di Arafah. Harapan bahwa doa-doa mereka akan makbul. Selanjutnya, para haji akan pulang ke kampungnnya masing-masing dengan membawa berkah dari ibadah hajinya. Berkah itu bisa berupa makin meningkatnya keimanan mereka, kasih sayang kepada sesama dan rasa berkurban yang kian meningkat.
Suka cita itu juga bersumber dari momentum berkurban kita. Qurban, yang dalam defenisi Arab adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui hewan sembelihan. Bahwa dengan berkurban, Allah akan menaikkan derajat kita. Menggugurkan dosa-dosa yang sekiranya tidak diampuni, dampaknya bisa mencelakakan diri dan keluarga. Ataukah dosa yang mengakibatkan dibukanya aib. Atau dosa yang mendatangkan bencana.
"Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka, dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan oleh orang-orang yang kesusahan dan fakir." (QS Al Hajji : 28).
Suka cita itu kita resapkan dalam takbir-takbir kita. Baik pada Takbir Mutlak pada hari pertama hingga ketigabelas Zulhijjah, maupun Takbir Muqayyad di setiap Shalat Wajib selama tiga hari setelah Arafah.
Kita jangan bersedih karena tidak bisa berkurban. Dalam pandangan saya pribadi, Islam adalah agama yang tidak pernah memberatkan umatnya. Dalam Fikih Syafii, memang yang diwajibkan berkurban adalah orang-orang yang masih mampu membeli hewan kurban, kambing atau sapi, di luar kewajiban pokok dirinya dan keluarganya. Satu kambing untuk satu orang, dan satu sapi untuk tujuh orang.
Belakangan ini, ada beberapa ulama yang mulai mengangkat syariat kurban kolektif yang tidak membatasi jumlah pengurban. Dalilnya pun cukup kuat. Ada sejarah yang dikisahkan oleh Abu Ayyub Al Anshari bahwa Nabi Muhammad Saw pernah mengurbankan dua ekor domba. Satu ekor untuk seluruh mukminin dan satu ekor lagi untuk dirinya dan keluarganya.
Tentu saja, pilihan ada pada pribadi masing-masing. Kita tidak perlu mendebatkan dalil-dalil yang sifatnya khilafiyyah.
Idul Adha semustinya menambah luas paradigma kita bagaimana kita memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada sesama kita. Membagi-bagikan daging kurban tidak sekadar seremoni. Disembelih, diserahkan dan selesai. Antara pemberi dan penerima daging kurban selayaknya terikat hubungan yang lebih erat. Harus ada asas saling memberi manfaat di jalan Allah. Si pemberi mengungkapkan rasa syukurnya. Dan si penerima mendoakan kebaikan si pemberi.
Hanya dengan begitu, rasa kuraba atau mendekatkan diri kepada Allah bisa membentuk takwa. Takwa itulah yang diterima oleh Allah Swt. "Daging (hewan kurban) dan darahnya sesekali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepadaNya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengangungkan Allah atas petunjuk yang diberikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS Al Hajj : 37).
Dan akhirnya, kita sama-sama menantikan berkah dari doa-doa para jamaah haji pada Hari Arafah nanti. Semoga negara kita, Indonesia, dan khususnya Parepare, senantiasa diberikan rahmat dan ampunanNya. Selamat Idul Adha. (**)