Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)
Kewajiban paling utama dari seorang pemimpin adalah mengurusi umat. Dia harus secara aktif menunjukkan tanggungjawabnya, baik ketika dia dalam keadaan lapang maupun sulit. Kita membaca dari sejarah, begitu banyak teladan yang ditunjukkan oleh para Rasul, terutama Rasululah Saw yang kemudian diikuti oleh Khulafaaur Rasyidin hingga para tabi'in serta para ahli hikmah.
Para alim kita membagi jalur spiritualitas dalam dua bagian. Yakni vertikal yang sifatnya hubungan antara hamba dengan Tuhan. Kemudian horisontal yang merupakan hubungan dengan sesama makhluk. Dua jalur ini harus menyatu sesempurna mungkin dalam diri seorang hamba. Apalagi seorang pemimpin.
Dua jalur ini akan membentuk kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Namun harus diperkokoh dengan sifat ikhlas. Tanpa keikhlasan, atau jika terpaksa ikhlas, kesalehan tersebut bisa menyimpang dan berubah menjadi riya. Akhirnya, ibadah akan jadi sia-sia.
Pada artikel kali ini, saya ingin menekankan pada kesalehan sosial dan hubungan eratnya dengan urusan umat. Kita melihat fenomena sosial belakangan ini, di mana orang-orang begitu mementingkan dirinya sendiri. Bukan hanya dalam hal materi, tetapi juga tercermin dalam prilaku ibadah.
Sebagian besar dari kita mengira tambang pahala terbesar ada pada ibadah atau ritual-ritual. Jika kita menyimak nash-nash Islam, bisa disimpulkan tambang pahala terbesar, jika tujuan kita memburu pahala, ada pada ibadah sosial.
Rasulullah Saw sendiri memperingati kita, "Tidak beriman seseorang jika dia kenyang sementara tetangganya kelaparan.". Apa artinya? Seluruh ibadah kita selama ini-- yang kita anggap telah membentuk keimanan-- justru tidak ada artinya jika ada tetangga kita kesusahan.
Ada begitu banyak riwayat serupa yang menekankan tingginya nilai ibadah sosial dibandingkan ibadah pribadi. Yang paling sering dibanding-bandingkan justru ibadah yang susah-susah, seperti Qiyamul Lail dan Umrah.
Akan panjang tulisan ini jika saya menguraikannya di sini.
Ada sebuah kisah yang mungkin bisa jadi inspirasi kita semua. Seorang ulama besar yang sangat terkenal di Irak, pernah didatangi seorang dokter ketika menjaga istrinya yang tengah dirawat di RS. Dokter tersebut mengeluhkan begitu padatnya pekerjaannya. Mengoperasi, mengobati hingga melayani konsultasi pasien, membuatnya nyaris tak bisa lagi beribadah dengan baik. Hanya ibadah wajib saja yang dia jaga.
Ulama tersebut kemudian dengan lembut mengatakan, "Anakku, sudikah engkau jika kita tukar pahala dari shalat tahajudku 40 tahun dengan pahalamu dari satu hari melayani orang sakit.". Tentu saja, ulama ini tidak sekadar bicara. Atau ingin menghibur dokter tersebut. Dia berkata benar sesuai kadar ilmunya.
Saya tidak ingin mengajak untuk meninggalkan ibadah-ibadah afdhal. Sama sekali tidak. Namun mengingatkan, masih ada begitu banyak urusan umat yang memerlukan perhatian dan kerja nyata kita.
Minimnya pendidikan, masalah kesehatan, kemiskinan hingga stunting, adalah ibadah-ibadah sosial yang menanti perhatian kita semua. Ummul Mukminin Aisyah r.a meriwayatkan sebuah doa dari Rasulullah Saw, “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.”
Allah Swt juga mengingatkan kita, "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (ibadah kepada) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS Ali Imran : 112). (**)