Syariah Menurut Perempuan Nonmuslim

  • Bagikan

Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)

Sebelum lebaran Idul Adha lalu, saya bertemu dengan beberapa perempuan pengusaha Tionghoa. Mereka tergabung dalam Ikatan Wanita Tionghoa Sulsel. Singkatannya Iwati Sulsel. Dalam pertemuan itu juga ada Ibu Lucia Wijaya. Ketua Iwati Sulsel.

Ada yang menarik dalam perbincangan kami. Tentang bagaimana perempuan nonmuslim memandang toleransi antarumat beragama. Jadi ini adalah perspektif perempuan nonmuslim, yang mungkin diwakili oleh saudari-saudari Tionghoa yang ada di Sulsel.

Membahas toleransi di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim tentu tidak bisa lepas dari syariat Islam. Inilah yang sering menjadi isu yang digoreng-goreng di negara kita. Sampai ada kelompok yang menafsirkan Indonesia seharusnya menganut sistim syariat Islam karena penduduknya dominan muslim.

Tapi saya tidak bertujuan mengupas penerapan syariat Islam menurut yang saya pahami. Saya khawatir ada yang akan memanfaatkan, memelintir dan malah menjadikan bahan fitnah di tengah masyarakat Parepare yang sangat toleran dalam menjalani kehidupan bersama umat beragama lainnya. Kita harus mempertahankan harmoni kehidupan beragama yang sudah sangat indah di Parepare.

Dalam tulisan ini, saya mencoba menyampaikan pandangan perempuan nonmuslim yang minoritas, tentang toleransi di negara berpenduduk muslim yang mayoritas.

Ibu Lucia menceritakan pengalamannya membangun bisnis di Malaysia. Negara tetangga kita itu juga mayoritas muslim. Namun sebagai minoritas dalam agama, Ibu Lucia tidak sekalipun merasa risih. Dia merasa sangat aman dan nyaman. Orang-orang menjalankan rutinitas sehari-hari tanpa sedikit pun sentimen agama.

Jadi poin penting di sini adalah bagaimana toleransi di Malaysia telah menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua umat beragama. Bagi pengusaha seperti Ibu Lucia, rasa aman dan nyaman itu sudah lebih dari cukup. Dia bisa menjalankan bisnisnya dengan baik dan ikut memberikan kontribusi terhadap perekonomian di sana.

Sementara kita di sini, pemerintah dan para aktivis pro-toleransi masih bergulat dengan pola-pola pemelintiran isu penerapan syariat Islam. Ada begitu banyak isu-isu di media sosial. Dibuatkan narasi umat nonmuslim tidak suka dengan muslim dan begitu juga sebaliknya. Ini tentu sangat berbahaya. Karena isu agama seringkali dijadikan trigger atau pemantik karena sangat mudah merangkul massa yang emosional.

Padahal penerapan syariat Islam itu ada pada prinsip hidup, baik sebagai individual, komunitas maupun kolosal. Terapkan lah ajaran Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari, pasti orang sekitar kita akan merasakan keberkahan. Ada banyak jalan menuju harmoni kehidupan beragama tanpa harus mengobarkan isu superioritas sebagai mayoritas muslim.

Kita belajar dari kisah Umar bin Khattab ra dalam pertemuannya dengan para pendeta di Palestina. Ketika tiba waktu Shalat Ashar, para pendeta mempersilahkan Umar Ra agar shalat dalam gereja. Namun beliau menolaknya dan memilih shalat di ruangan kecil di luar gereja.

Apakah Umar Ra enggan shalat dalam gereja karena itu bukan tempat ibadah yang pantas baginya? Bukan karena itu. Dia justru khawatir umat muslim saat itu akan merebut gereja tersebut dan menjadikannya masjid dengan dalih Umar bin Khattab pernah shalat di gereja tersebut.

Umar juga pernah membela seorang Yahudi yang mengeluhkan lahannya direbut oleh penduduk muslim. Umar kemudian mengambil tulang unta dan membuat garis lurus dengan pedangnya. Si Yahudi ini disuruh membawa tulang itu kepada muslim yang telah mengambil lahannya. Si muslim ini pun gemetar dan paham tentang pesan garis lurus yang disampaikan oleh sang khalifah.

Dua kisah Umar bin Khattab di atas memberikan kita pesan moril, seorang pemimpin harus menjamin keamanan dan kenyamanan seluruh golongan. Baik dalam menjalankan agamanya, maupun kehidupan sehari-harinya. Itulah yang harus kita panuti. Dan sikap seperti itulah menjadi 'berkah' yang dirasakan perempuan nonmuslim yang saya ceritakan di atas.

Dan masih banyak lagi kisah-kisah toleransi kehidupan beragama yang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw sendiri maupun para pemimpin umat muslim. Kita memang perlu mendistribusikan bacaan-bacaan, konten atau literasi tentang toleransi kepada masyarakat, khususnya kepada generasi muda kita. (**)

Editor: PARE POS
  • Bagikan