Oleh : Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)
Saya yakin bukan hanya saya saja yang merasakan hal ini. Mungkin semua bakal calon kepala daerah merasakan hal yang sama.
Selama tahapan Pilkada, proses untuk mengejar elektabilitas membuat kami harus sibuk blusukan setiap hari. Mulai pagi sampai malam, dan berlanjut lagi besok, lusa dan seterusnya. Terkadang seharian bisa sampai delapan lokasi yang kami kunjungi. Mulai temu warga, pesta pernikahan, perkabungan hingga pelantikan para relawan.
Para pendukung begitu antusias mengajak kami mendatangi, utamanya pesta pernikahan atau acara berkabung. Yang sering mengejutkan, di lokasi acara, ternyata ada brosur bakal calon wali kota yang lain. Namun sambutan pemilik hajatan tetap terasa hangat.
Di suatu waktu, kedatangan kami disambut dengan kasidah dan shalawatan. Lagi-lagi di tempat itu, yang tertempel di dinding adalah kalender atau foto rival.
Sebagai manusia biasa, dan perempuan, harus saya akui ada bersitan kecewa dalam hati. Di sini saya merasakan tantangan yang begitu berbeda antara politisi dan muballigah. Selama 30 tahun berdakwah, entah sudah berapa macam tantangan dan rintangan yang saya hadapi. Bahkan sampai mengancam nyawa ketika saya dibawa berdakwah ke pelosok Thailand Selatan. Saya kira banyak ibu PKK yang bisa menceritakan betapa mengerikannya pengalaman kami waktu itu.
Terjun di politik praktis, sebagai calon wali kota pula, rintangan yang dihadapi begitu menguras energi kalbu. Banyak hal yang berpantangan dengan hati nurani.
Namun perjalanan politik ini jua yang membawa hikmah yang sangat besar. Bagi saya, hikmah terbesar itu adalah konsistensi memegang pada hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia. Hablun minaAllah wa Hablun minannas. Jalur vertikal dan horisontal. Spiritual dan sosial.
Jika salah memaknai hal ini, kita bisa terperosok ke jurang kehinaan. Sebagaimana dalam kitab suci Alquran : "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan…" (Q. S. Ali Imran : 112)
Dua tali ini baru bisa kita pegang teguh ketika pangkalnya kita bersihkan lebih dahulu. Yakni diri kita sendiri. Para ahli hikmah mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat shudur yang luasnya melebihi langit dan bumi. Bahkan lebih lagi dari itu. Shudur yang berada jauh di dalam kalbu, menjadi tempat persemayaman Asma Ar Rahman dan Ar Rahim.
Dua sifat agung Tuhan inilah yang memancarkan sifat welas asih kepada sesama manusia. Hablun minannas. Saya terus melatih itu selama Pilkada ini. Dan mendapatkan ketenangan batin yang luar biasa.
Alhamdulillah. Sekarang ini saya bisa santai melewati setiap masalah yang dirasakan oleh seluruh panca indra. Saya tidak membeda-bedakan mana pendukung dan bukan pendukung. Saya tidak pusing apakah orang di depan saya hipokrit ataukah benar-benar tulus membantu. Bagi saya, Hablun minaAllah yang benar, akan mengantar saya pada Hablun minannas yang benar pula.
Intinya, menjaga kualitas hubungan Ilahiyah akan memperbaiki hubungan kita dengan sesama manusia. Saya yakin seyakin-yakinnya, Adzillah atau kehinaan yang dimaksud dalam ayat suci di atas, hanya ditimpakan pada manusia yang bermaksud mencelakakan manusia lainnya. Yang suka mengadu domba. Memfitnah dan menyebarkan keburukan.
Insya Allah, saya selalu berdoa dan berusaha diberikan kekuatan untuk menjaga diri, memegang teguh Tali Ilahi dan mengeratkan silaturahim. Hari-hari ini, kita perlu berbaik sangka bukan hanya pada manusia di sekitar kita, tetapi juga pada rangkaian peristiwa yang menyenangkan maupun sebaliknya. (*)