Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)
Belakangan ini saya begitu sibuk dengan kegiatan lapangan dan nyaris tidak ada waktu luang untuk mengetahui kabar dari dunia luar. Hingga suatu malam, sekitar dua pekan lalu, saya bertukar kabar dengan salah kawan lama, seorang ustazah. Awalnya pembicaraan kami berjalan normatif hingga kami bertukar cerita tentang kondisi anak-anak.
Saya terkejut mendengar kisahnya tentang Mesir. Selama ini, saya dan mungkin kebanyakan orang di Indonesia berpikiran Mesir adalah negeri dengan spiritualisme yang tinggi. Peradabannya sudah membentang selama ribuan tahun. Tanah para Nabi. Dan yang paling monumental tentunya, Universitas Asy Syarif Al Azhar, Kairo. Semua ragam ilmu ada di sana.
Apa yang dicari akal manusia, ada di Mesir. Filsafat, sains hingga mistis.
Ustazah tersebut hendak menyekolahkan salah satu anaknya di Kairo. Namun betapa kagetnya dia karena semua bayangannya tentang keagungan Mesir, berubah bahkan di langkah pertama kakinya. Dia merasakan betapa tingginya kewaspadaan orang di bandara. Seakan-akan semua gerak-gerik ada yang awasi. Cerita ini mungkin mengejutkan bagi yang tidak begitu memahami karakter pemerintahan Mesir yang cenderung militeristik.
Kekagetannya masih berlanjut saat masuk di Kairo. Lalu-lintas begitu semrawut. Kairo memang menjadi salah satu kota terpadat di dunia. Hampir 23 juta orang beraktivitas di sana.
Sebelum meneruskan cerita dari ustazah ini, saya harus menegaskan dari sini bahwa tulisan ini tidak untuk menjustifikasi tentang Mesir dari satu sudut pandang. Dari penilaian Ustazah teman saya itu. Kita tetap membutuhkan referensi dari pandangan lain agar penilaian bisa lebih komprehensif. Setidaknya, pandangan teman saya ini cukup bisa dipercaya.
Lanjut. Ustazah ini tentu harus menetap sementara di sana. Dia pun mengontrak kamar apartemen. Dia merasakan kehidupan masyarakat Mesir yang ternyata tidak sepritualis dalam bayangannya. Orang-orang hidup dengan kepentingan masing-masing. 'Nafsi-nafsi'-lah dalam bahasa kita. Namun demikian, ada satu hal yang dia kagumi dari pola interaksi masyarakatnya, yakni toleransi yang sangat tinggi. Orang-orang apapun latarbelakang agama dan mazhabnya, dapat menjalankan keyakinannya dengan aman.
Namun dengan apa yang dia saksikan dan dengarkan sendiri tentang Kairo, tidaklah seindah dalam bayangannya. Dan ternyata, belakangan ini banyak forum di media sosial ikut mengangkat permasalahan di Kairo. Khususnya pendidikannya yang cenderung liberal.
Entahlah. Saya pun tidak begitu paham sudah sejauh mana perubahan yang dialami oleh negeri Piramida itu. Padahal Mesir, seperti yang kita pahami semua, adalah negeri berperadaban tinggi. Mesir seolah muncul dalam kisah-kisah sejarah sebagai negeri yang maju teknologinya. Piramidanya entah bagaimana caranya disusun. Mereka juga sudah ribuan tahun membangun irigasi memanfaatkan Sungai Nil.
Dalam Alquran sendiri, Mesir di zaman Nabi Musa dan Harun As sebagai negeri yang fantastis. Bukan hanya teknologi yang sudah maju, tapi keajaiban-keajaiban sihir. Dalam salah satu hadist kita mengetahui patung sapi emas yang sempat disembah Bani Israel, menjadi hidup saat dilemparkan jejak kaki Malaikat Jibril As.
Di sisi keilmuan, Universitas Asy Syarif Al Azhar adalah satu monument intelektual menjadi kebanggaan peradaban Islam. Al Azhar adalah menjadi rujukan fatwa kaum muslimin seluruh dunia. Ulama-ulamanya berkelas internasional. Semua anak santri punya cita-cita bersekolah di sana. Setidaknya itulah yang ada dalam bayangan saya.
Namun bagaimana Mesir sekarang? Saya sedih jika dikaitkan dengan Palestina. Mesir berbatasan langsung dengan Gaza, Palestina. Tapi pemerintahannya tak kunjung mau membuka Rafah agar bantuan internasional bisa masuk menolong penduduk Gaza yang kelaparan. Kita semua bertanya? Ada apa dengan pemerintahannya? Ada apa dengan ulama-ulamanya?
Seorang intelektual asal Aljazair, Malik bin Nabi mengatakan, ada tiga jenis kepemimpinan. Yakni memimpin dengan ruh. Memimpin dengan akal dan memimpin dengan nafsu.
Sebuah peradaban akan terus menanjak naik tatkala yang menjadi panglimanya adalah ruh. Kita mungkin menyebutnya 'memimpin dengan hati'. Ruh sifatnya suci karena berasal dari zat Yang Maha Suci. Kesucian tidak akan pernah berpisah dengan kebenaran. Menurut Malik, jika pemimpin memutuskan perkara berdasarkan ruh, maka peradaban akan mencapai puncak.
Jika pemimpin menjadikan akal sebagai pemandunya, maka peradaban akan mengalami pelebaran dan pemekaran, bukan pengembangan menuju puncak kebaikan. Peradaban yang dikendalikan akal akan mengalami tarik menarik yang demikian kencang antara ruh dan hawa nafsu sehingga peradaban terus merentang dan bukan mengalami kenaikan nilai.
Yang paling buruk adalah kepemimpinan dengan nafsu. Peradaban apapun yang telah dibangun sebelumnya, pasti akan hancur. Bagaimana pun suksesnya pemimpin sebelumnya, semuanya akan runtuh jika dia digantikan oleh pemimpin yang memperturutkan hawa nafsunya. Ini sudah terlihat di mana-mana.
Semoga kita semua dijauhkan dari model pemimpin yang hanya memperturutkan hawa nafsunya. (*)