Warisan Spiritual

  • Bagikan

Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)

Tahun 1970an. Saya masih SMP. Kami sekeluarga menetap di rumah dinas militer milik ABRI (sekarang TNI), Samboeja, di Bantimurung, Maros. Ayah saya, Haruna Rasyid berpangkat Peltu (Pembantu Letnan Satu).

Kami 12 bersaudara dibesarkan dengan disiplin tinggi. Bapak saya sangat kental dengan profil militeristik. Semua kegiatan di dalam dan di luar rumah sudah terjadwal. Dan kami semua harus mematuhinya. Jika dilanggar, bapak tak segan menjatuhkan hukuman.

Saat kelas 2 SMP, saya melihat sebuah kitab terselip di sela-sela buku di lemari. Kitab itu adalah Ihya Ulumuddin. Karya Imam Al Gazali. Saya membaca daftar isi dan tertarik. Namun ketika diketahui oleh bapak, dia menarik paksa kitab tersebut. Dia tak berkata apa-apa. Hanya menatap dengan tajam. Belakangan, buku itu tidak lagi berada di lemari.

Terlanjur terpesona, saya pun terus berusaha mencari kitab Ihya Ulumuddin. Akhirnya dapat juga. Disembunyikan di sela plafon. Seketika saya lari keluar rumah lalu mencari fotokopian. Saya copy beberapa lembar. Dan akhirnya bisa bebas membacanya. Bapak mungkin mengira saya tengah membaca kopian pelajaran di sekolah.

Entah mengapa, di tengah didikan militer yang begitu keras, di saat yang sama pula jiwa saya suka memberontak. Saya juga sering kabur ke Sungai Bantimurung karena sangat senang berenang dan main air.

Kaburnya pun tidak main-main. Selepas makan siang adalah waktu untuk tidur. Kamar dikunci dari luar. Namun saya selalu punya akal. Menggergaji teralis kamar adalah salah satunya. Kabur ke sungai bermain-main beberapa jam. Lalu kembali lagi masuk lewat jendela. Teralis saya perbaiki seakan-akan masih utuh.

Di Sungai Bantimurung, saya dan teman-teman sebaya sangat suka loncat dari pohon. Kami mencari pohon yang tinggi lalu memanjatinya. Kemudian terjun ke sungai. Pernah suatu waktu, saya menemukan pohon yang menjorok ke tengah sungai. Tanpa memperdulikan bahaya, saya menikmati aksi terjun dari pohon ke sungai.

Ternyata tepat di bawah air itu ada batu besar yang terendam aliran sungai. Lutut saya terhantam. Saking kerasnya, saya pun pingsan. Arus air membawa saya hanyut namun dengan posisi seakan-akan berenang. Untung teman-teman mengikuti. Setelah terhanyut sekitar 1 kilometer, saya akhirnya siuman. Saya kaget dan tersadar, mungkin ini tulah karena melanggar aturan bapak.

Ada dua hal yang sangat ditekankan bapak. Mengaji dan kepatuhan total. Untuk mengaji dia tak ada kompromi. Dia selalu bilang kepada kami lebih baik berhenti sekolah daripada malas mengaji. Penegasan itu selalu beliau ulang-ulang manakala salah satu dari kami kedapatan alpa mengaji. Saya sering terheran-heran, mengapa bapak begitu mementingkan mengaji (pendidikan Alquran secara tradisional) dibandingkan sekolah. Kalau saya tidak sekolah, alangkah malunya sama teman-teman sebaya.
Bapak saya juga tidak melanjutkan sekolah militernya. Dia stagnan dengan pangkat Peltu. Tidak mengejar karir sebagai perwira. Bapak sudah puas dengan bisnis sampingannya. Bisnis pete-pete (angkutan umum) yang jumlahnya 12 unit. Sesuai jumlah anak-anaknya.

Kami belajar dasar-dasar mengaji kepada Daeng Bollo. Setelah menamatkan Juz 'Amma (Juz ke-30), bapak menyuruh kami belajar Tajwid kepada Puang Rahman. Rumah Puang Rahman berjarak tempuh sekitar 2 kilometer dari Samboeja. Jadi 4 kilometer pulang pergi. Jalan kaki.

Setelah menyelesaikan tajwid, bapak meminta kami lagi belajar tilawah kepada Puang Asma. Belajar tilawah tidaklah secepat menguasai tajwid. Saya sendiri harus belajar dua tahun untuk mempelajari nada-nada tilawah.

Punya anak yang bisa mengaji secara fasih, dan punya sedikit keterampilan tilawah, menjadi kepuasan batin bagi bapak. Seakan-akan tujuannya menjadi bapak hanya untuk memastikan anak-anaknya dekat dengan Alquran.

Inilah yang terpatri dalam jiwa saya. Saya mewarisi semangat spiritual dari bapak. Dalam Islam, mendidik anak adalah tugas utama seorang ibu. Saya pun memastikan anak-anak saya juga harus bisa mengaji. Saat tinggal di Tidung Mariolo, Makassar, saya mengantar sendiri Ilhamsyah mengaji kepada Imam Ashim. Di sana pula saya ikut menghafal dan termotivasi membentuk komunitas menghafal untuk kalangan emak-emak. Kelak akan bertransformasi dengan nama Komunitas One-One.

Alhamdulullah. Ilham pun tidak pernah lepas dari Alquran. Tiap hari dia mewajibkan dirinya membaca satu halaman. Jika berhalangan karena sibuk, dia akan meng'qadha'nya keesokan harinya. Saat melihat Ilham mengaji, batin saya begitu tenang. Bahagia juga. Mungkin inilah yang dirasakan bapak saya ketika melihat kami mengaji di kamar masing-masing saat di Samboeja. Kepuasan yang sulit dilukiskan oleh kata-kata.

"Duhai Tuhanku. Ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan kasihi mereka sebagaimana mereka mengasihiku ketika kecilku." (*)

Editor: PARE POS
  • Bagikan

Exit mobile version