Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)
Jalan dakwah sejatinya merupakan jalan yang sunyi. Jalan yang banyak dihindari oleh banyak orang. Apalagi bagi perempuan. Yang disebut muballigah.
Meniti jalan dakwah berarti sudah siap secara fisik dan mental untuk menghadapi penolakan di sana-sini. Rasulullah Saw, seperti yang kita tahu bersama, menghadapi pelbagai ujian berat. Diasingkan di lembah yang sepi, diembargo usahanya, dihina, dilempari batu dan kotoran, hingga ancaman pembunuhan.
Nabi Yunus As ditolak dakwahnya oleh umatnya. Saking frustasinya sampai memuncak emosinya. Menghardik lalu meninggalkan umatnya dengan menyeberangi lautan. Tuhan kemudian menunjukkan keperkasaanNya dengan mengutus ikan raksasa yang menelan Nabi Yunus yang juga disebut dengan Zun Nun ini.
"Dan (ingatlah kisah) Zun Nun, ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ”Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al Anbiya - 87).
Selama 30 tahun berdakwah, saya merasakan betul beragam tantangan yang tekanannya terus meningkat seiring transformasi zaman. Namun, dengan mengingat perjuangan para Nabi, rasa-rasanya yang saya hadapi ini bukanlah apa-apa.
Dulu, sebelum masa internet, sumber ilmu hanya bisa diakses dari guru dan kitab. Saya sendiri mulai tertarik dengan wacana dakwah usai menyelesaikan kitab Ihya 'Ulumuddin karya Imam Al Gazali. Kitab itu punya ayah di mana saya harus sembunyi-sembunyi membacanya karena kala itu saya masih SMP. Dan anak perempuan pula.
Semangat belajar ilmu agama sempat redup seiring masuknya usia gadis remaja. Namun tahun-tahun kemudian, ilmu yang tertinggal itu terasa memanggil kembali jiwa saya. Hingga membuat saya membulatkan tekad untuk mundur dari pekerjaan. Dua kerjaan pula. Sebagai pegawai bank dan sebagai wartawati TVRI. Saya juga ingin fokus mengurus suami dan anak-anak. Menjadi ibu rumah tangga.
Waktu yang lapang membuat saya bisa menelaah banyak buku. Bisa bergaul dan berbagi ilmu dengan kawan-kawan yang se-frekuensi. Kegemaran saya terhadap tema-tema Islam pun meluas. Dari syariat hingga tasawuf. Saya membaca buku apa saja dan karya siapa saja. Tidak membeda-bedakan dari teologi dan mazhabnya. Saya percaya iman dan akal itu anugerah tertinggi dari Tuhan. Iman dan akal menyempurnakan jiwa. Akal tanpa iman, atau iman tanpa akal, pasti tersesat.
"Lalu Dia mengilhamkan kepada jiwa (jalan) kejahatan dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa)nya. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya." (QS. Asy Syams : 8-10).
Era sekarang, di mana teknologi informasi sudah di generasi kelima (5G), jalan dakwah pun ikut mengalami transformasi. Orang-orang tidak lagi kesulitan mengakses informasi. Termasuk ilmu-ilmu agama. Batasannya sulit dilihat. Metode belajarnya mengarah ke mana-mana.
Jalan dakwah tidak lagi menjadi jalan yang sunyi. Seperti yang dialami para guru kita sebelum masa datangnya internet. Dan kemudian muncullah media sosial. Sepertinya, siapapun sekarang sudah bisa jadi muballig. Apalagi jika konten dakwahnya viral. Diamplifikasi oleh pengagumnya. Namanya melambung sebagai Ustad kondang. Jamaahnya bertambah-tambah. Ekonominya melesat.
Saya melihat fenomena dakwah ini dan mencoba mencari hikmahnya. Tapi saya tidak menemukan, atau belum menemukan kecuali kembali ke masa lampau. Di mana dakwah seharusnya jalan yang sunyi. Bukan jalan yang ramai. Apalagi jalan mendulang popularitas.
Al 'Allamah Ubaid al Jabiry Hafidzahullah berkata, "Seseorang ketika mempersiapkan dirinya menjadi seorang penyeru kepada agama Allah, menyeru kepada al huda (hidayah) dan agama yang haq ini, terkadang merasakan keterasingan dan ditimpa kesulitan dikarenakan sedikitnya orang yang berjalan bersamanya dan banyaknya orang yang menyelisihinya."
Perkataan Allamah Ubaid sudah selaras dengan Sabda Rasulullah Saw. “Islam akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya mengenai ghuroba’, lalu beliau menjawab, “Ghuroba atau orang yang terasing adalah mereka yang memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74)
Saya mencoba berbaik sangka. Semakin banyak pendakwah, maka umat semakin banyak ilmunya. Berharap para pendakwah bisa menjadi guru. Menjadi ustad kemudian ulama. Menjadi orang-orang yang bisa dipanuti akhlaknya. Dan ilmunya terpercaya sumbernya hingga ke Rasulullah Saw. (*)