Merdekakan Guruku!

  • Bagikan
Sudirman Manda

Penulis: Sudirman Manda
(Kepala UPTD SD Negeri 47 Kota Parepare, Pengajar Praktik CGP Angkatan 7 Kota Parepare Sulsel,
Fasilitator CGP Angkatan 10 Provinsi Nusa Tenggara Barat)

PAREPARE, PARPOS .FAJAR.CO.ID--
Di suatu pagi yang cerah, secerah hati dan jiwaku mulai melangkahkan kaki meninggalkan rumahku istanaku menuju taman syurga ladang ilmu bagi anak bangsa, “Sekolahku”.

Andaikan bisa diibaratkan semangatku seperti semangat para pejuang-pejuang syuhada yang rela mengorbankan jiwa raganya demi membela keutuhan Negara RI.

Aku pun mengayunkan kaki penuh keyakinan disertai niat yang tulus.
Ku hanya berharap pagi itu, bisa menunaikan tugasku dengan baik dan dapat kembali bersilaturahmi dengan teman-teman seprofesi penuh canda dan tawa.

Namun, harapan itu sepertinya agak susah untuk digapai kedua-duanya.
Kulangkahkan kakiku memasuki gerbang kemuliaanku, “Assalamualalikum…” itulah ucapan pertamaku kepada teman seperjuangan yang sementara piket.

Aku pun bergegas masuk kelas yang merupakan rumah keduaku. Akhirnya kutunaikan dengan penuh cinta dan kasih kewajibanku mendidik anak-anak bangsa. Jam istirahat pun tiba, aku keluar dari kelasku.

Hatiku gembira berbunga-bunga, namun kegembiraan itu lenyap seketika pada saat pandanganku tertuju kepada teman sekaligus seniorku yang duduk menyendiri penuh tatapan kosong.

Aku coba mendekati dan menghilangkan rasa penasaranku yang mulai dibalut kesedihan.
“Saudaraku….seniorku….!!! Bagaimana kabarnya hari ini…??? Tanyaku kepadanya. Beliau hanya memalingkan wajahnya kepadaku sembari memaksakan diri untuk tetap tersenyum.

“Batinku tersandera…wahai adindaku…!!!
Bagaikan disambar petir di siang bolong. Hatiku tersayat begitu perih. Tak terasa air mata berlinang. “Ada apa??? Wahai guruku…wahai seniorku…??? Aku memanggilnya senior sebagai penghargaanku kepadanya dan sangat pantas karena beliau sudah mengajar sebelum aku mengenal yang namanya huruf.
“Tidak ada apa-apa….wahai adindaku…!!!”

Aku pun tidak sanggup dan tidak punya hak untuk memaksakan beliau mengutarakan gejolak hatinya. Setelah itu, aku berusaha mencari tahu yang terjadi sesungguhnya. Ternyata penyebabnya “Sangat Sepele”.

Hanya terjadi diskomunikasi kecil dengan orang tua siswa kami yang sebenarnya sangat bisa diselesaikan dengan baik, namun terlalu cepat menemui jalan buntu.
Akhirnya, orang yang sangat kuhargai dan kubanggakan itu harus rela menerima keputusan yang begitu berat baginya.

Aku sangat merasakan kekecewaan itu meskipun beliau menerimanya dengan lapang dada. Beberapa hari kemudian, beliau juga harus mengambil keputusan yang bagi sebagian orang merupakan pilihan tersulit baginya yaitu harus meninggalkan sekolah kami yang sudah mencetak ratusan bahkan ribuan orang-orang cerdas di negeri ini.

Kuhanya bisa mendoakan semoga seniorku memdapatkan tempat tugas yang lebih baik dari tempat tugas sebelumnya, amin!!!

Itulah sekelumit kisah mengharukan sekaligus menggugah hati perjuangan penerus si Oemar Bakri yang masih terkungkung dengan berbagai tantangan dan rintangan yang masih sangat jauh dari kata “kemerdekaan” untuk berbuat lebih baik bagi negeri ini.

Kembali kepada topik masalah, merdekakan guruku…!!!
Berbicara tentang kemerdekaan guru, maka ada dua hal yang menjadi pusat perhatian dalam memaknai kemedekaan guru itu.

Pertama, kemerdekaan guru dalam terhadap kewajibannya melaksanakan proses belajar mengajar. Kedua, kemerdekaan guru dalam memperoleh hak-haknya baik sebagai hak asasi maupun hak sebagai tenaga pendidik.

Ketika kita bicara kewajiban guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, maka proses belajar butuh kemerdekaan, sudah tentu. Sebab, kemerdekaan harus melekat pada subjek yang melakukan proses belajar, anak ataupun orang dewasa termasuk melibatkan dukungan banyak pihak. Perspektif kemerdekaan itu sendiri, bukan sekadar kepatuhan atau perlawanan. Kemerdekaan

adalah sesuatu yang diperjuangkan, bukan diberikan. Makanya, kenyataan yang paling menyedihkan dari pengembangan guru dewasa ini adalah titik di mana seringkali membuat guru merasa disalahkan bukan didengarkan.

Sebenarnya hampir semua situasi, guru dikatakan kunci dalam pendidikan. Namun, kalimat ini sebenarnya bukan kalimat lengkap. Kunci sering diartikan sebagai solusi segala masalah yang bisa ditinggal sendirian.

Guru di kelas harus berhadapan dengan anak yang tidak siap berkonsentrasi karena datang dengan kondisi kelaparan. Kemiskinan, kegagalan keluarga, adalah masalah yang sangat besar dan membutuhkan pendidikan di segala bidang.

Semuanya dibebankan ke guru di sekolah dengan harapan situasi kelak akan berubah. Ada yang mengatakan bahwa guru adalah kunci, itu sama saja dengan mengalihkan tanggung jawab dan menjebak guru untuk gagal.

Tentu guru berperan penting dalam pendidikan, namun tuntutan akan besarnya peran atau secara spesifik tingginya kompetensi tidak akan tercapai saat guru tidak memiliki hak yang asasi yaitu kemerdekaan.

Kemerdekaan guru dalam jangka panjang berperan sentral untuk menumbuhkan kemerdekaan belajar murid dan nantinya cita-cita demokrasi negeri ini.

Yang terjadi dalam pengembangan guru saat ini, kemerdekaan seringkali dibungkam dengan tunjangan atau tekanan baik dari masyarakat atau dari pihak mana pun. Pendidikan menjadi proses yang penuh dengan kontrol, bukan dengan pemberdayaan.

Tentu masih segar ingatan kita kepada saudara kita di Makassar “sang Guru Dasrul” yang harus merelakan nyawanya melayang hanya sekadar ingin mendapatkan kemerdekaan dalam proses pembelajaran demi mencerdaskan anak bangsa. Sungguh miris sekali…!!! Mana lagi salah seorang guru kita di kota yang berjulukan “Kota Mercusuar Pendidikan” ini harus menanggung malu yang luar biasa karena divonis hukuman percobaan 1 tahun oleh pengadilan hanya karena menyuruh siswanya untuk menunaikan shoalat berjamaah. Sungguh kemerdekaan yang belum berpihak kepadamu wahai guruku…!!!

Di banyak negara, memasuki profesi guru adalah proses yang sangat selektif untuk orang-orang pilihan. Namun menjalaninya didukung dengan banyak kemerdekaan dan kemudahan. Di negeri kita sebaliknya. Menjadi guru seringkali mudah, namun batasan dan tekanan di dalam profesinya sangat menantang. Sama seperti burung yang tidak berani keluar dari kandang, kompetensi guru tidak akan bisa optimal berdampak tanpa kemerdekaan.

Sebab, hanya guru yang merdeka yang bisa membebaskan anak, hanya guru yang antusias yang menularkan rasa ingin tahu pada anak dan hanya guru belajar yang pantas mengajar.
Tak kalah pentingnya, kemerdekaan guru dalam memperoleh hak-haknya baik sebagai hak asasi maupun hak sebagai tenaga pendidik.

Berlandaskan UUD 1945 dan UU No 9 tahun 1999 Pasal 3 ayat 2 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Bahwa hak asasi manusia, termasuk hak-hak guru, merupakan hak dasar yang secara koderati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng.

Oleh karena itu, hak-hak manusia, termasuk hak-hak guru harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun.
Salah satu hak guru adalah hak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual. Pada Pasal 39 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

Bagian 7 tentang Perlindungan, disebutkan bahwa banyak pihak wajib memberikan perlindungan kepada guru. Perlindungan tersebut meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Sebagai penutup dalam tulisan yang sangat sederhana ini, penulis ingin kembali mengenang sejarah peristiwa terjadinya ledakan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki Jepang pada tanggal 6 dan 9 Agustus tahun 1945. Amerika Serikat dan sekutunya meluluhtantahkan Jepang pada saat itu yang menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa.

Kaisar Jepang “Hirochita” berpidato dan mengeluarkan kalimat yang mengejutkan semua pihak, “Masih adakah guru….???
Mengapa mesti guru yang dicari…??? Mengapa bukan dokter…??? Mengapa bukan pengacara…??? Mengapa bukan jaksa…??? Mengapa bukan orang kaya dan bangsawan…??? Jawabannya, karena gurulah yang dianggap profesi yang sangat mulia dan mampu mengembalikan kejayaan Jepang yang mengalami kehancuran waktu itu. Terbukti, hari ini Jepang sangat maju di berbagai bidang kehidupan terutama di bidang pendidikan dan teknologi.

Itu semua andilnya siapa…???? Jawabannya, tiada lain adalah “GURU”.
Semoga melalui momentum Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79 Tahun 2024 ini, para pemerhati dunia pendidikan di tanah air tercinta ini bisa mengembalikan “kemerdekaan” ke pangkuan “guru” seperti yang pernah terjadi di era tahun 1980-an.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version