Oleh : Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)
"Hidup lah golongan karya. Semoga Tuhan tetap melindungimu."
Hymne Partai Golongan Karya ini membahana pada pembukaan Musyawarah Nasional XI di Jakarta Convention Center, beberapa hari yang lalu. Bait terakhir hymne di atas membuat saya merinding. Mengingat bagaimana geliat dan gejolak politik belakangan ini di negeri tercinta.
Keterkaitan Tuhan dan politik sangat bergantung pada pandangan para pelakunya : praktisi hingga pengamat. Ada beragam pandangan tentang tema Tuhan dan politik. Sistim demokrasi, lebih banyak yang melihatnya dekat dengan sekularisme. Politik adalah urusan manusia. Tuhan adalah bagian privasi penyembahan. Hubungan vertikal. Antara Tuhan dan hamba.
Namun kenyataan yang saya lihat tidaklah seperti itu. Sistem demokrasi kita tetap merangkul partai politik yang bercorak agamis. Pada partai-partai nasionalis sekalipun, tetap memiliki bagian yang mengurusi agama.
Praktisi politik, atau politikus di Indonesia pun tidak benar-benar mengesampingkan peran Ilahi dalam pekerjaan politiknya. Mereka yang dibesarkan dalam lingkungan agamis, pasti akan selalu meminta pertolongan Tuhan dalam hajat politiknya. Seperti menggelar zikiran, majelis ilmu dan prilaku spiritual yang sifatnya lebih personal. Menziarahi makam wali, silaturahim pada ulama atau mencium kaki ibu dan memohon restunya. Semua itu untuk mengetuk pintu langit. Dan itu tidak ada dalam mata pelajaran ilmu politik.
Partai Golkar, yang dibentuk sebagai poros tengah (tidak kiri dan tidak kanan) juga tetap menyadari kekuasaan Tuhan di atas segala-galanya. Seperti yang tertulis dalam bait terakhir hymne Partai Golkar tadi. Ketika hymne ini dikumandangkan peserta Munas, saya berdoa dalam hati. Semoga Allah Swt membimbing para pemimpin dan politikus Partai Golkar agar mampu membawa rakyat Indonesia dalam kemakmuran dan kesejahteraan.
Saya memandang ke arah para peserta, memohon agar Allah meneguhkan hati kami untuk berbakti kepada bangsa dan negara. Sungguh, beban berpolitik itu sangat berat. Hampir semua hajat hidup masyarakat, diurus dengan politik. Sampai ada yang berguyon, sepak bola pun sudah dipolitisasi.
Selain beban tanggungjawab, politik juga acap menciptakan hasrat yang menggebu-gebu. Hasrat, yang lebih tepat dipadanankan dengan 'nafsu' dalam istilah ilmu jiwa. Semua itu hanya bisa dikendalikan dengan mengingat akan kekuasaan Tuhan.
Tanpa Zikrullah, politik akan menampakkan wajah yang jahat. Seperti kekhawatiran para Malaikat saat Allah mengumumkan akan menciptakan khalifah di muka bumi.
"… Para Malaikat berkata, apakah Engkau akan menciptakan di muka bumi ini orang-orang yang menebar kerusakan dan menumpahkan darah. Adapun kami senantiasa bertasbih, mengagungkan dan mensucikan Engkau…" (QS Al Baqarah : 30)
Kesadaran akan kekuasaan Tuhan itu, tidak saja timbul dengan doa dan munajat sekalipun itu yang paling utama. Hal-hal sederhana seperti hymne Golkar di atas, juga bisa memantik kesadaran Ilahiyah. Apalagi jika dia dipadukan dengan harmoni nada. Hati yang keras bisa melembut.
Pada ujungnya, orang-orang akan selalu melihat politik sebagai cara mengambil kekuasaan. Yang berpandangan lebih ekstrim akan melihatnya sebagai : menguasai atau dikuasai. Terkait hal ini, saya tak pernah bosan mengutip ayat ini "Dan katakan lah 'Duhai Tuhanku Yang Maha Kuasa, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS Ali Imran : 26).
Dan terakhir, saya mengutip nasehat bijaksana Habib Umar bin Hafidz. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Karena hasil dari semua urusan di dunia sudah ditetapkan Allah. Jika ada sesuatu ditakdirkan untuk menjauh darimu, maka dia tidak akan pernah mendatangimu. Namun jika dia ditakdirkan bersamamu, maka kau tidak akan bisa lari darinya. Tidak ada penyakit yang membunuh tubuhmu, lebih dari kesedihan dan pikiran yang berlebihan.” (*)