“Dari Uang, Oleh Uang dan Untuk Uang” Ancaman bagi Pilkada?

  • Bagikan

Oleh

Andi Affandil Haswat

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare

Seorang relawan caleg di Bulukumba, Sulawesi Selatan, divonis 8 bulan penjara dan denda Rp3 juta atas kasus politik uang. Pengadilan Negeri Kabupaten Bulukumba menjatuhkan putusan terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal tersebut menandakan politik uang masih terjadi. Terakhir di Pemilu 2024, bgemana dengan Pilkada serentak?

Pilkada, singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah, seringkali dianggap sebagai ajang demokrasi lokal yang berperan penting dalam memilih pemimpin daerah. Namun, di balik proses demokratisasi ini, terdapat dinamika politik yang kompleks dan seringkali terkait dengan praktik korupsi. Dalam konteks ini, pilkada sering diwarnai oleh fenomena politik transaksional, di mana uang menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi hasil pemilihan.

Politik transaksional adalah fenomena di mana kekuasaan dan keputusan politik dipengaruhi oleh pertukaran material, seperti uang, kekuasaan, atau keuntungan lainnya. Dalam konteks pilkada, politik transaksional sering muncul dalam bentuk donasi, sponsor, dan lain-lain. Partai politik, calon kepala daerah, dan bahkan masyarakat umum sering terlibat dalam praktik ini.

Bahkan Praktik politik uang semakin dinormalisasi di Indonesia. Banyak politisi memandangnya sebagai kewajiban moral, dan masyarakat yang menerima uang merasa tidak disuap karena dianggap hadiah atau kompensasi. Hal ini sesuai dengan kultur Indonesia yang kental dengan konsep ‘utang budi’.

Contohnya, banyak partai politik yang mengandalkan donasi dari kalangan bisnis dan korporasi untuk membiayai kampanye pilkada. Dalam proses ini, partai politik sering harus mengimbangi kebutuhan keuangan dengan kebutuhan moral, sehingga memungkinkan praktik korupsi dan nepotisme untuk terjadi. Selain itu, calon kepala daerah juga sering harus berjanji untuk memberikan keuntungan kepada donator setelah terpilih, sehingga memperkuat ikatan antara politik dan ekonomi.

Korupsi adalah salah satu masalah yang paling serius dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Banyak kepala daerah yang terlibat dalam praktik korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak kepala daerah yang telah terbukti melakukan korupsi dan harus diadili.

Misalnya, pada tahun 2020, terdapat sekitar 10% dari total kepala daerah yang sedang menjalankan tugasnya yang telah terlibat dalam kasus korupsi. Angka ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya merupakan masalah kecil, tetapi merupakan fenomena yang luas dan kompleks yang melibatkan banyak pihak.

Dampak dari politik transaksional dan korupsi dalam pilkada sangat luas dan beragam. Pertama, kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi lokal menurun. Ketika masyarakat melihat bahwa uang dan kekuasaan lebih penting daripada kepentingan umum, maka kepercayaan mereka terhadap sistem demokrasi akan menurun.

Kedua, kualitas pelayanan publik menurun. Kepala daerah yang terlibat dalam korupsi sering tidak memprioritaskan kepentingan masyarakat, melainkan kepentingan pribadi dan kelompok yang mendukung mereka. Hal ini dapat menyebabkan kualitas pelayanan publik menurun, seperti infrastruktur yang rusak, kualitas pendidikan yang buruk, dan lain-lain.

Ketiga, kestabilan politik menurun. Politik transaksional dan korupsi dapat menyebabkan konflik internal dalam partai politik dan antar partai. Hal ini dapat mengganggu kestabilan politik dan memungkinkan terjadinya perubahan pemerintahan yang tidak stabil.

Untuk mengatasi politik transaksional dan korupsi dalam pilkada, beberapa solusi dapat diterapkan. Pertama, perlu adanya reformasi dalam sistem pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat peran lembaga-lembaga pengawas, seperti KPK, dan meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Kedua, perlu adanya regulasi yang lebih ketat terhadap donasi dan sponsor dalam kampanye pilkada. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan aturan yang jelas tentang sumber dan jumlah donasi, serta memastikan bahwa donasi tersebut tidak berpengaruh pada keputusan politik.

Ketiga, perlu adanya pendidikan politik yang lebih baik. Masyarakat perlu dipahami tentang pentingnya demokrasi dan kepentingan umum dalam memilih kepala daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang demokrasi dan pentingnya memilih kepala daerah yang jujur dan adil.

Dalam kesimpulan, pilkada "dari uang, oleh uang untuk uang" merupakan fenomena yang kompleks dan berbahaya. Politik transaksional dan korupsi dapat merusak sistem demokrasi lokal dan mengganggu kestabilan politik. Oleh karena itu, perlu adanya upaya serius untuk mengatasi fenomena ini, baik melalui reformasi pemerintahan, regulasi yang ketat, dan pendidikan politik yang lebih baik. Dengan demikian, pilkada dapat menjadi ajang demokrasi yang sebenarnya, di mana kepentingan umum menjadi prioritas utama. (*)

  • Bagikan