Inflasi Tertinggi di Sulsel, Pemkot Parepare Hadapi Tantangan Serius

  • Bagikan

PAREPOS.FAJAR.CO.ID, PAREPARE-- Kota Parepare menjadi penyumbang inflasi tertinggi di Sulawesi Selatan (Sulsel). Hal itu berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Parepare. Di mana inflasi tahunan atau year on year (Y on Y) Parepare, per Agustus 2024 mencapai 2,22 persen.

Angka ini menunjukkan Parepare sebagai penyumbang inflasi tertinggi di Sulsel dari delapan kabupaten/kota yang menjadi percontohan. Bahkan, inflasi Parepare lebih tinggi jika dibandingkan dengan Provinsi Sulsel yang berada di angka 1,77 persen.

Padahal, sebelumnya Pemerintah Kota (Pemkot) Parepare telah gencar menggelar pasar murah dan meluncurkan gerakan pangan untuk menekan laju inflasi, upaya tersebut tampaknya belum membuahkan hasil maksimal.

Karena itu, Pemkot Parepare kini menghadapi tantangan serius dalam mengendalikan lonjakan inflasi.

Kepala BPS Kota Parepare Suparno Pani mengatakan, lonjakan inflasi ini sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga yang diatur oleh pemerintah.

"Inflasi Parepare tertinggi di Sulsel diakibatkan adanya kenaikan administered prices, atau kenaikan harga yang diatur oleh pemerintah. Dalam hal ini, adalah pemerintah daerah yaitu kenaikan tarif parkir dan tarif rumah sakit, emas perhiasa," ungkap Suparno yang dihubungi, Kamis, 5 September 2024.

Selain itu, kata dia, dari sisi komoditas yang menyumbang inflasi adalah beras dan cabai rawit. Hal ini terjadi karena Parepare mendapatkan suplai dari luar daerah.

"Di mana Parepare bukan merupakan daerah produsen, sebagian kebutuhan masyarakat didatangkan dari luar Parepare," jelasnya.

Meski demikan, Suparno memberikan apresiasi kepada Pemkot Parepare dalam menekan inflasi melalui pasar murah dan gerakan pangan murah.

Sebab, menurut Suparno dengan adanya pasar murah dan gerakan pangan murah, Parepare di Agustus 2024 terjadi deflasi.

"Alhamdulillah, kalau melihat inflasi kita di bulan ini, terjadi deflasi berarti menandakan stok cukup dan harga secara umum mengalami penurunan," ujarnya.

Dia menambahkan, meski inflasi bulanan Agustus 2024 lebih tinggi dengan bulan sebelumnya. Tapi, lebih rendah dangan bulan yang sama tahun lalu.

"Iye (tingkat inflasi bulan Agustus lebih tinggi dari bulan sebelumnya) tetapi masih dalam posisi deflasi.
Di bulan Juli terjadi deflasi sebesar -0,47, sedangkan di bulan Agustus hanya sebesar -0,16 berarti ada kenaikan sebesar 0,31 persen," tandasnya.

  • Disarankan Konsultasi Kebijakan Fiskal

Pasar murah yang gencar dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Parepare secara pendekatan teori untuk menekan inflasi.
Hanya saja, pasar murah itu, belum efektif dengan melihat data Badan Pusat Stastik (BPS) yang merilis angka inflasi Parepare menjadi penyumbang tertinggi di Sulawesi Selatan (Sulsel). BPS Parepare menyebut inflasi tahunan atau year on year (Y on Y) Parepare, per Agustus 2024 mencapai 2,22 persen.

Akademisi yang juga Pengamat Ekonom, Dr Yadi Arodhiskara mengatakan secara pendekatan teori pasar murah untuk menekan inflasi. Tetapi, yang perlu diidentifikasi siapa yang merasakan manfaat dari pasar murah itu. Apakah mereka yang dari kalangan menengah atau kelompok miskin.

"Nah ini, tentu menjadi problem yang harus dicarikan solusi. Karena justru kelompok menengah yang ikut antre di lokasi pasar murah. Sementara kelompok menengah ini kemampuan daya beli mereka tinggi. Bagaimana dengan kelompok miskin yang pendapatannya rendah, dengan daya beli rendah karena keterbatasan, mereka saja bisa membeli apa yang menjadi kebutuhan pokok untuk keluarga mereka," katanya.

Dia juga menjelaskan, tingginya inflasi di suatu daerah bisa juga mempengaruhi angka kemskinan dan kemiskinan ekstrem karena pergerakan ekonomi yang rendah dan lesu.

"Kalau inflasi tinggi akan mempengaruhi daya beli menurun. Kalau daya beli menurun terhadap kelompok menengah, ini bisa memicu kelompok miskin bertambah. Begitu kalua daya beli kelompok miskin juga menurun, akan menjadi penyumbang kelompok kemiskinan ekstrem. Olehnya itu, pemerintah harus terus menggalakan oerasi pasar untuk merangsang daya beli masyarakat, termasuk pergerakan ekonomi," ujarnya.

Dia menyebut bahwa data BPS yang merilis penyumbang inflasi Parepare adalah sektor pendidikan. Belum lagi, tarif parkir meskipun tidak siginifikan menyumbang angka inflasi, tetapi mempengaruhi. Terutama, beberapa kebutuhan pokok.

"Kalau di bedah dari sektor pendidikan, karena momentum adanya tahun ajaran baru. Warga lebih fokus pada alat kelengkapan sekolah, seragam sekolah serta adanya mahasiswa baru dengan biaya UKT. Sementara untuk kebutuhan pokok juga tidak terlepas kebijakan dari pemerintah terhadap harga beras HSP yang tadinya dijual dengan harga Rp52.000/5 kilogram, naik menjadi sekitar Rp60.000-Rp64.000/5 Kg. Belum laga harga minyak goreng merk Minyakita juga adanya kebijakan pemerintah menaikan harga itu. Selisih Rp10 ribu saja, sudah sangat berdampak," jelasnya.

Sehingga, kata Yadi, bagi warga kelompok miskin yang misalnya dalam keluarga ada empat orang membeli kebutuhan beras itu, mereka hanya bisa bertahan sepekan akan membeli lagi. "Satu keluarga misikn ada empat orang, beras itu dikonsumsi tidak cukup selama seminggu," katanya.

Yadi pun menyarankan agar pemerintah daerah melakukan konsultasi dengan pemerintah pusat terkait kebijakan fiskal, terutama adanya kebijakan kebutuhan pokok yang naik dapat mempengaruhi daya beli menurun.

"Konsultasi kebijakan fiskal ini, merupakan solusi jangka pendek bagi pemerintah. Kalau stagnan, dan terus naik. Maka, rawan kelompok menengah akan masuk ke kelompok miskin. Begitu pun kelompok miskin, khawatir akan masuk kemiskinan ekstrem, jika kebutuhan pokok tidak mampu dikendalikan," katanya.

Karena itu, Yadi juga menyarankan agar pemerintah juga melakukan antisipasi tahun depan di sector Pendidikan. Yakni masuk sekolah, dan kuliah. "Adanya kebijakan usaha-usaha konveksi diberi insentif agar warga bisa membeli seragam dengan harga terjangkau. Lalu, penguatan bantuan sosial kepada keompok miskin menjadi alternatif. Termasuk, seragam sekolah gratis dan peralatannya memang harus dipikirkan," katanya.

Selain itu, dia juga berharap anggaran makan minum yang nilai cukup fantastis, yakni Rp10 miliar, pemerintah kota bisa menggandeng UMKM lokal dalam pemenuhanannya. "Melibatkan pelaku UMKM, tidak hanya kelompok usaha makan minum yang modalnya besar. Ini, agar terdistribusi merata," tandas Mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah ini. (has-nan)

  • Bagikan

Exit mobile version