Oleh : Aditya Putra M. I. Kom
KPU Kota Parepare sudah menyelenggarakan debat pertama paslon Walikota Parepare pada tanggal 26 Oktober. Terselenggara dengan lancar, dalam artian tidak terdapat gesekan yang berarti antar paslon maupun pendukungnya masing-masing. Mungkin ini terkait dengan karakter masyarakat Parepare yang pada dasarnya heterogen dan terbuka terhadap perbedaan, serta pengamanan yang cukup ketat namun tetap menggunakan pendekatan yang humanis dari gabungan aparat.
Namun secara substansi dan tujuan, debat tersebut belum dapat dikatakan memenuhi fungsinya. Debat publik pasangan calon walikota memiliki fungsi bukan hanya kepada masyarakat, namun juga pada pasangan calon tersebut. Bagi masyarakat, fungsi debat tersebut antara lain adalah untuk memberikan edukasi mengenai paslon, melakukan evaluasi kualitas kandidat, mobilisasi publik, hingga memberikan perbandingan program antar paslon.
Sebaliknya bagi pasangan calon, fungsi debat tersebut adalah setidaknya untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan dan memberikan legitimasi demokrasi.
Fungsi-fungsi inilah yang perlu menjadi perhatian, bukan hanya bagi penyelenggara, namun juga oleh pasangan calon masing-masing.
Debat publik membantu meningkatkan pemahaman pemilih tentang visi, misi, serta program kerja setiap paslon (McKinney dan Carlin, 2004). Debat menjadi sarana edukasi politik di mana pemilih mendapatkan informasi yang mendalam mengenai kandidat yang mereka dukung. Fungsi ini menjadi tidak maksimal dikarenakan keterbatasan waktu dan format, maka sebaiknya penyelenggara memformulasikan konsep debat yang lebih ringkas, dan pasangan calon masing-masing menyusun pengantar yang lebih singkat dan to-the-point.
Fungsi kedua, yaitu evaluasi kualitas kandidat memungkinkan pemilih untuk mengevaluasi kualitas kepemimpinan, kapasitas komunikasi, serta kemampuan kandidat dalam menghadapi tekanan. Dalam debat, pemilih dapat menilai kecakapan calon dalam berargumen dan merespons kritik, yang mencerminkan kesiapan mereka dalam memimpin (Abramowitz, 1989).
Hal ini menjadi tidak maksimal mungkin dikarenakan oleh kurang pahamnya paslon terhadap mekanisme tanggapan dan counter tanggapan, sehingga yang terjadi pada saat sesi tanggapan yang lebih sering terjadi justru pemaparan program, visi misi, maupun hal-hal yang tidak terkait. Untuk mengantisipasi hal tersebut, penyelenggara debat sebaiknya memberikan simulasi sesi kepada paslon ataupun menerangkan konsep tangapan dan kritik secara jelas kepada setiap pasangan calon.
Yang ketiga adalah perbandingan program kerja. Debat publik seharusnya memfasilitasi perbandingan langsung antara program kerja paslon (Holbert, 2005). Sehingga pemilih dapat melihat perbedaan visi dan misi, serta solusi konkret yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat untuk masalah daerah. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya paslon berfokus pada ciri khas program mereka yang tidak terdapat pada paslon lain sebagai materi yang dibawakan pada saat debat publik.
Bagi paslon sendiri, debat publik adalah kesempatan bagi mereka bukan hanya untuk meningkatkan elektabilitas mereka pada segmen swing voters, namun juga untuk mengukur kemampuan rival mereka dari segi visi, misi, dan program, sekaligus menemukan kelemahan di dalamnya. Hal ini sangat berguna untuk membentuk opini publik yang positif terhadap mereka, sekaligus melemahkan posisi rival-rival mereka.
Di sisi lain, ada juga catatan-catatan terkait keberadaan khalayak didalam ruang debat. Masih sering terjadi pelanggaran-pelanggaran tata tertib, utamanya menyangkut yel-yel dan teriakan-teriakan, sehingga moderator masih sering merasa perlu memberikan peringatan. Bahkan ada salah satu paslon yang pada saat acara debat sudah berlangsung, turun dari panggung untuk ”nongkrong” di tempat pendukungnya berada, walaupun sudah jelas terdapat aturan mengenai tempat paslon selama debat berlangsung. Hal-hal seperti ini perlu diperhatikan oleh penyelenggara agar debat dapat berlangsung secara efisien.
Persoalan seperti ini bukan kali ini saja, namun sudah terjadi sejak konsep debat publik ini pertama kali diperkenalkan kedalam sistem pemilihan umum di Indonesia. Debat publik memang merupakan salah satu bentuk komunikasi yang kurang lazim bagi masyarakat Timur yang mengedepankan sopan santun dan seringkali normatif. Konsep ini lahir dari tradisi demokrasi kuno, terutama di Yunani Kuno, di mana keterbukaan dan diskusi publik merupakan bagian penting dari pemerintahan. Dalam konteks ini, debat dianggap sebagai cara bagi warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan melalui argumentasi rasional. Yang dikedepankan adalah rasionalitas dan argumentasi, bukan sopan santun dan bahasa normatif.
Konsep debat publik dianggap kurang cocok dalam masyarakat Timur karena perbedaan nilai budaya, norma sosial, dan tradisi yang lebih mengutamakan harmoni sosial dibandingkan konfrontasi langsung. Budaya Timur, seperti budaya di Indonesia, cenderung mengutamakan harmoni sosial dan menghindari konfrontasi langsung. Dalam konteks debat publik, perdebatan yang penuh dengan argumen berlawanan dianggap dapat memicu konflik, yang bertentangan dengan nilai-nilai harmoni dan face-saving dalam interaksi sosial (Hoefstede, 1980). Selain itu, terdapat faktor pentingnya menjaga “muka” atau harga diri dalam budaya-budaya Timur (Ting-Toomey, 1988). Debat publik yang terbuka sering kali melibatkan kritik langsung, yang bisa dianggap memalukan atau merendahkan pihak lain.
Debat publik bisa saja berlangsung secara efektif, apabila penyelenggara mampu menghilangkan atau setidaknya meminimalisir gangguan yang terjadi selama debat. Bisa saja menindak langsung apabila audiens melakukan pelanggaran ketertiban, atau bisa saja dengan sekalian melakukan debat publik yang tertutup, dalam arti tidak dihadiri oleh audiens selain panelis dan penyelenggara. Kemudian dari sisi pasangan calon, sisi tanggapan dan kritik bisa berlangsung secara efektif apabila mereka menggunakan diksi atau pemilihan kata-kata yang netral dalam menyampaikan tanggapan ataupun kritik. Tentu tantangan ini tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Penyesuaian ini mutlak perlu dilakukan selama kita masih menganggap norma dan sopan-santun jauh lebih penting dibandingkan substansi permasalahan, agar kualitas debat publik semakin meningkat.
Semoga pada debat publik yang terakhir nanti, masyarakat kota Parepare dapat menikmati ajang kemampuan pasangan calon yang sebenarnya, sehingga masyarakat semakin pasti dalam menentukan pilihan. Semoga saja. (*)