Di Balik Menahan Amarah

  • Bagikan

Oleh : Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)

Pernahkah Anda merasakan sesuatu yang luar biasa ketika selesai menjalankan atau memilih jalan kebaikan? Seolah sesuatu yang luar biasa itu merupakan dampak dari perbuatan-perbuatan baik?

Secara pribadi, saya sudah sering kali merasakan pengalaman itu. Saking seringnya saya sudah sampai tahap yakin. Bukan lagi seolah. Apalagi merasa itu hanya kebetulan saja.

Saya yakin perbuatan baik dan buruk, pasti ada ganjarannya. Ada yang sangat cepat, agak cepat dan bahkan lambat ganjarannya. Bahkan para alim ulama dalam dakwahnya biasanya mengucapkan, kalau bukan di dunia pembalasannya, pasti di akhirat. Yang pasti, semua perbuatan sekecil apapun itu akan dipertanggungjawabkan.

"Barang siapa yang berbuat kebaikan sekecil apapun, pasti akan dia lihat ganjarannya. Dan siapa saja yang berbuat keburukan sekecil apapun, pasti akan dia lihat balasannya." (QS Al Zalzalah : 7 - 8)

Pada tulisan sebelumnya dengan judul Protokol Ilahi, saya mengungkapkan pengalaman pribadi tentang mudahnya urusan ketika kita tidak melalaikan waktu terbaik shalat. Yaitu di awal waktu.

Padahal kalau dipikir-pikir, menunda urusan duniawi karena mendahulukan ibadah itu juga cukup berisiko. Kita bisa kehilangan sesuatu yang mungkin saja penting. Sementara waktu shalat masih ada beberapa jam.

Namun ajaibnya, saya mengalami sendiri, begitu urusan ibadah didahulukan, urusan duniawi akan ikut dimudahkan. Bukan sekali dua kali. Tapi berkali-kali. Sudah sering. Dan sampai saat ini, Alhamdulillah, saya belum pernah merasakan urusan dunia saya terbengkalai gara-gara mendahulukan shalat di awal waktu.

Kali ini, saya kembali takjub dengan kekuatan besar di balik menahan amarah. Marah adalah hal manusiawi. Namun Rasulullah SAW dalam banyak sabdanya menekankan umatNya agar melampiaskan amarahnya.

Dalam hadist Arbain yang terkenal itu, Rasulullah SAW menasehati kita dengan dua kata: Laa Tagdhab. Jangan marah. Bahkan dalam hadist tersebut Rasulullah mengulangnya sampai dua kali. Begini hadistnya;

"Seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW dan minta nasehat beliau. Rasulullah SAW bersabda, Janganlah engkau marah. Lelaki ini mengulang lagi permintaannya. Dan Rasulullah (tetap) dengan nasehatnya. Janganlah engkau marah."

Bisa disimpulkan, di antara Sunnah Nabi kita yang mulia adalah menahan amarah. Dan ini menjadi cerita saya kali ini.

Beberapa tahun lalu, saya pernah menangani event bernuansa syariah di Kota Makassar. Kami mengundang seorang artis ibu kota yang populer dengan nyanyian-nyanyian Islaminya. Dia setuju siap hadir mengisi acara hiburan utama.

Dua hari sebelum acara, si artis mengonfirmasi ketidakhadirannya. Dia sampaikan kurang enak badan. Semua orang dibuatnya mengomel. Tidak ada yang percaya bahwa dia sakit.

Sejujurnya, saya sebagai penanggungjawab utama juga emosi. Bagaimana tidak? Undangan sudah disebar. Kebutuhan acara sudah lengkap dan sisa dijalankan. Dengan waktu dua hari, bagaimana cari penggantinya?

Saya pun dengan menahan amarah, menyampaikan baik-baik kepada sang artis agar semoga cepat sembuh. Dan bisa suatu saat akan datang tanpa halangan. Saya mengakhiri pesan dengan kalimat La Hawla wa laa quwwata illaa biLlah.

Setelah menyampaikannya, saya pun memasrahkan acara itu kepada Allah SWT. Yang jelas kami sudah berusaha, menyiapkan segala sesuatunya.

Keesokan harinya, si artis menelpon. Dia bilang siap datang. Saya kaget, takjub sekaligus bergembira, dan mengatakan bagaimana bisa itu terjadi. Dia jawab karena doa dan harapan kami yang menyembuhkannya.

Saya memetik hikmah dari peristiwa ini. Apa jadinya jika saya protes dan marah-marah pada si artis? Bisa jadi dia balik marah. Silaturahim terputus. Dan sponsor juga ikut marah. Semua marah. Semua rugi.

Beberapa waktu yang lalu, kejadian yang memantik emosi saya alami. Seorang anggota tim, merasa tersinggung dan mengancam akan meninggalkan 'medan juang' Pilkada. Dia tersinggung karena ulah tim lain, namun ingin melampiaskannya langsung kepada saya.

Mendekati pemilihan, tensi tim memang sangat tinggi. Orang-orang bekerja dengan tekanan yang luar biasa berat. Sehingga sulit menghindari hal-hal seperti perbedaan pandangan, sikap hingga timbullah ketersinggungan.

Saya bersyukur, bisa melihat kejadian-kejadian seperti ini dengan jernih. Percaya diri ketika menjalankan perintah Allah Swt dan Sunnah Rasulullah, urusan duniawi akan dimudahkan. Saya memilih menjalankan Sunnah Nabi; menahan amarah.

Keesokan harinya, orang yang marah itu menelepon dan minta maaf. Dia mengaku emosinya telah menutupi akal sehatnya. Saya tentu saja menerima maafnya.

Begitulah. Ketika kita menyerahkan semua urusan kepada Allah, insya Allah urusan dimudahkan. Kita berniat, menjalankan, dan La Haula laa Quwwata illaa biLlah. Wallahu 'alam. (*)

Editor: PARE POS
  • Bagikan

Exit mobile version