Oleh: Dr Hj Erna Rasyid Taufan
(Ketua DPD Partai Golkar Parepare)
Jujur itu berat, kata banyak orang. Kejujuran sudah langka di dunia ini, kata sebagian lagi. Mengapa banyak yang skeptis dan apatis untuk menemukan kejujuran dewasa ini? Pertanyaan ini sebenarnya sudah lama sekali menjadi perdebatan di berbagai forum intelektual, baik agama, filsafat dan sains.
Setidaknya, ada tiga masalah yang kita hadapi sehingga kita sampai pada kesimpulan, jujur itu berat, atau, jujur itu langka. Namun sebelum itu, mari kita mengingat kembali sabda Nabi Muhammad saw. "Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah."
Para ulama kita lebih banyak menafsirkan fitrah di sini adalah nilai-nilai universal Ilahiyah. Salah satunya potensi kejujuran. Itulah mengapa, anak kecil tidak pernah atau tidak bisa bohong. Anak-anak mulai berbohong ketika mereka diracuni oleh didikan atau pengaruh yang salah. Terutama dari lingkungan kehidupan sosialnya.
Pada dasarnya, manusia sulit melawan fitrahnya. Lawan dari jujur adalah bohong, dusta, tipu dan licik. Namun mengapa orang tidak jujur? Pertama, takut akan konsekuensi: Dia takut akan reaksi negatif dari orang lain jika mengungkapkan kebenaran. Kedua, ingin melindungi perasaan orang lain. Berbohong dianggap sebagai cara untuk menghindari menyakiti perasaan orang lain. Ketiga, tekanan sosial. Lingkungan sosial yang tidak mendukung kejujuran dapat membuat seseorang merasa terpaksa untuk berbohong.
Secara pribadi, saya pun menghadapi problematika ini. Di masa Pemilihan Wali Kota Parepare, saya tegaskan kepada seluruh tim, terutama tim data agar selalu jujur. Apapun hasilnya, asalkan didapat dengan cara yang jujur, saya pasti akan terima. Saya selalu menganggap suara dukungan yang jujur itu asalnya dari Allah Swt.
Insya Allah, saya sudah siap lahir batin. Seringkali saya tegaskan bahwa kita harus siap berkorban. Pilkada ini saya anggap medan jihad untuk membangun Kota Parepare menjadi lebih baik, sesuai kadar kemampuan yang diberikan oleh Allah Swt kepada kita.
Kepemimpinan dalam Islam yang ditunjukkan oleh para Nabi dan Rasul, khususnya Nabi Muhammad Saw menempatkan kejujuran sebagai pilar besarnya. Alquran seringkali menempatkan kejujuran sebagai bagian penting dari keimanan dan keadilan. Dalam artian, kalau kita tidak jujur, itu sama saja kita tidak beriman. Tidak jujur juga sudah pasti tidak akan adil. Pemimpin yang tidak adil, hanya akan membawa kerusakan dalam kekuasaannya.
Dalam pandangan para filsuf, konsekuensi dari ketidakjujuran akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ini akan mengakibatkan penderitaan sosial. Orang-orang sulit menjadi bahagia. Dalam sains, ketidakjujuran dalam penyajian data penelitian akan mendatangkan bencana.
Pada level individual, ketidakjujuran dapat merusak reputasi seseorang. Sekali kepercayaan hilang, akan sulit untuk membangunnya kembali. Kebohongan dapat merusak hubungan dengan orang-orang terdekat. Teman, keluarga, dan pasangan akan menjauh. Melawan potensi jujur dalam diri juga hanya akan menghasilkan stress, kecemasan, rasa diri yang rendah dan sulit mengambil keputusan.
Dalam skala yang lebih tinggi, melawan potensi kejujuran dapat memicu munculnya ketamakan. Akibatnya; korupsi. Orang korupsi tidak akan pernah damai hidupnya. Dia mungkin akan senang, tapi tidak akan bisa tenang. Dan yang paling kita takutkan, ketika ketidakjujuran ini sudah merusak moral masyarakat. Jika berbohong dianggap sebagai hal yang biasa, maka kejujuran akan seperti quote di atas; langka!!
Jadi, agama, filsafat dan sains saling melengkapi dalam memahami pentingnya kejujuran. Agama memberikan landasan moral dan spiritual. Filsafat memberikan kerangka berpikir yang mendalam, dan sains memberikan metode yang sistematis untuk menguji kebenaran. Kejujuran yang dilandasi oleh iman, pengetahuan, dan metode ilmiah akan menghasilkan individu yang lebih baik dan masyarakat yang lebih adil.
Setiap potensi Ilahiyah dalam diri kita pada dasarnya membawa kita pada kebahagiaaan. Jujur itu membahagiakan? Tentu saja. Kejujuran bisa membawa kebahagiaan! Ketika kita jujur, kita menghilangkan beban hidup. Ketika kita jujur, kita membangun kepercayaan dan membuat hubungan dengan orang lain semakin erat. Ketika kita jujur, kita bisa mencegah kesalahpahaman dan konflik yang tidak perlu. Ketika kita jujur, kita lebih percaya diri. Ketika kita jujur, kita telah membantu menciptakan lingkungan yang aman, terbuka, dan saling menghormati.
Apakah ada kejujuran dalam politik? Ini hal lain yang memerlukan kajian lebih dalam. Kejujuran dalam politik memang masih diperdebatkan. Namun menurut saya, ketidakjujuran itu berbeda dengan strategi. Politik penuh dengan strategi hingga intrik.
Rasulullah Saw pernah diceritakan 'berbohong' untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Saat itu, menurut riwayat yang saya baca, Rasulullah melihat seorang lelaki yang berlari kencang dan beliau segera tahu bahwa orang itu sedang menghindari bahaya. Saat orang yang lari itu sudah hilang dari pandangannya, Rasulullah pun mengubah posisinya dengan melangkah ke tempat lain.
Tidak lama kemudian, segerombolan orang datang dan menghampiri Rasulullah Saw. Mereka bertanya, apakah beliau melihat seseorang dengan ciri-ciri seperti ini dan itu. Rasulullah Saw menjawab, sejak saya di sini, saya tidak melihat orang dengan ciri-ciri seperti itu. Karena Rasulullah sudah terkenal dengan gelar Al Amiin dan Ash Shiddiq, maka gerombolan itu pun percaya.
Apakah Rasulullah berbohong? Jelas tidak. Beliau memang tidak melihat pemuda tersebut ketika berada di posisi berdiri atau duduknya yang baru. Peristiwa ini pun dianggap sebagai hal yang membolehkan memanipulasi kejujuran asalkan tujuannya untuk kemaslahatan. Bahkan ada ulama yang berani berfatwa, dipersilahkan untuk berbohong jika itu bisa mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. Atau memperbaiki ikatan hubungan suami-istri yang terancam perceraian. Wallaahu 'A'lam bis shawaab. (*)