Oleh: Nuraliah, MPH
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat UNHAS Makassar
Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini. Data dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia mencapai angka yang mengkhawatirkan, yaitu 21,5 %, jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%. Hal ini tentu saja memprihatinkan dan diperlukan berbagai pendekatan solusi untuk penyelesaiannya.
Penyebab stunting sangat kompleks dan mencakup berbagai faktor. Kurangnya akses terhadap pangan bergizi, sanitasi yang buruk, rendahnya edukasi kesehatan, serta ketimpangan ekonomi menjadi tantangan besar dalam menurunkan angka stunting. Berbagai upaya pemerintah menangani masalah ini terus dilakukan dan telah memberikan dampak positif, tetapi belum cukup untuk menyelesaikan masalah ini secara komprehensif.
Lahirnya pemimpin baru setelah pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak merupakan momentum penting untuk kembali menitipkan harapan kepada mereka agar serius menangani masalah ini. Hal ini karena pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam mengatasi stunting melalui pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Regulasi tentang Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia
Dalam rangka merespons persoalan stunting di tingkat nasional, pemerintah berupaya mengatasi masalah ini melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting. Dalam kebijakan tersebut, disusun rencana aksi nasional untuk menurunkan pravelansi stunting, sehingga setiap stakeholder dituntut untuk mengoordinasikan, menyinergikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan percepatan penurunan stunting secara efektif, konvergen, dan terintegrasi dengan melibatkan lintas sektor di tingkat pusat dan daerah.
Hal utama yang ditekankan dalam regulasi tersebut ialah, bagaimana meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, menjamin pemenuhan asupan gizi, memperbaiki pola asuh dan meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan termasuk meningkatkan akses air minum dan sanitasi bagi masyarakat. Karena itu, kebijakan ini mengarahkan agar pelaksanaan percepatan penurunan stunting untuk menyasar kelompok remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui bahkan anak berusia 0 (nol) - 59 (lima puluh sembilan) bulan.
Melalui aturan ini, tentu setiap kepala daerah dituntut agar mengendepankan kepemimpinan kolaborasi dalam penanganan masalah stunting, karena pendekatan ini mendorong sinergi lintas sektor antara pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat, dan sektor swasta. Melalui komunikasi terbuka dan partisipasi aktif, pemimpin kolaboratif dapat memfasilitasi pengintegrasian program intervensi gizi, edukasi kesehatan, dan akses layanan sanitasi yang lebih baik.
Peter Senge, penulis The Fifth Discipline, dikenal karena teorinya tentang organisasi yang menekankan pentingnya kolaborasi dalam menciptakan organisasi yang adaptif dan inovatif. Kepemimpinan kolaboratif sebagaimana digagas Peter Senge menekankan pentingnya sinergi, keterlibatan lintas sektor, dan pendekatan partisipatif dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, para kepala daerah tidak hanya diharapkan bertindak sebagai pengarah, tetapi juga sebagai fasilitator yang mendorong komunikasi terbuka, kerjasama, dan pemanfaatan kekuatan kolektif untuk mencapai tujuan Bersama
Komitmen Pemimpin Daerah dalam Menerapkan Kolaborasi Pentahelix
Salah satu pilar yang ditekankan dalam percepatan penurunan stunting ialah, peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten kota. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk menitipkan harapan kepada seluruh pemimpin yang terpilih dalam Pilkada serentak untuk memperhatikan persoalan ini.
Hal yang harus diperhatikan setiap pemangku kepentingan ialah bagaimana pemerintah daerah mendorong peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat. Menurut hemat penulis, salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam upaya penanganan stunting yang komprehensif bagi setiap pemimpinan yaitu memaksimalkan pendekatan Pentahelix yang telah dikembangkan oleh pemerintah. Apa itu Pentahelix? Pentahelix adalah kolaborasi yang melibatkan lima komponen penting. Yakni, pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media. Lima unsur inilah yang membuka peluang besar untuk penanganan stunting secara holistik dengan melibatkan lima unsur utama untuk mengatasi akar permasalahan stunting.
Untuk mengatasi stunting secara efektif melalui model Pentahelix Collaboration, langkah pertama yang perlu dilakukan pemimpin terpilih adalah, pada setiap kebijakan yang akan dilakukan harus memastikan keterlibatan akademisi terutama dalam penyediaan data dan rekomendasi berbasis riset yang menjadi dasar perumusan kebijakan. Sebagaimana diketahui, persoalan stunting ini tidak akan akan bisa diselesaikan jika hanya mengandalkan keterlibatan Dinas Kesehatan maupun BKKBN. Dengan demikian, pemerintah daerah perlu menggandeng Perguruan Tinggi dalam menangani masalah stunting. Dengan menjalin kemitraan erat dengan akademisi, maka pemerintah daerah akan lebih mudah untuk memanfaatkan hasil-hasil penelitian dari Perguruan Tinggi dan dapat merancang program yang terukur dan berbasis bukti.
Kemudian, sektor bisnis juga dapat dilibatkan oleh pemerintah daerah. Ini dapat dilaksanakan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang terarah. Setiap pemimpin terpilih dapat bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan untuk menyediakan sejumlah program seperti subsidi pangan bergizi untuk keluarga rentan atau pembangunan fasilitas sanitasi di daerah terpencil. Ini penting dirancang sebab kurangnya asupan protein dan sanitasi yang buruk merupakan dua pemicu utama yang berkontribusi dalam memperparah masalah stunting di Indonesia.
Menangani masalah stunting tentu bukan perkara mudah. Hal ini karena persoalan ini memiliki banyak dimensi yang saling terkait. Dengan demikian, strategi lain yang perlu menjadi perhatian kepala daerah ialah, memanfaatkan platform digital. Pemerintah perlu mengembangkan aplikasi digital untuk edukasi gizi atau monitoring kesehatan ibu dan anak. Agar efektif, pemerintah harus memastikan agar sektor bisnis aktif berkontribusi dalam program pengentasan stunting.
Peran komunitas masyarakat dan media juga harus diperkuat untuk memastikan program berjalan optimal di tingkat lokal dan memiliki dampak luas. Komunitas masyarakat dapat dilibatkan oleh pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat, seperti pelatihan kader Posyandu atau pendampingan keluarga dalam pengelolaan gizi. Media, di sisi lain, bertugas meningkatkan kesadaran publik melalui kampanye edukasi tentang pentingnya pencegahan stunting.
Dengan demikian, siapapun pemimpin yang terpilih pasca Pilkada ini, hendaknya kolaborasi berbasis Pentahelix menjadi salah satu pendekatan yang digunakan untuk menurunkan angka stunting. Mari kita bergerak bersama, memadukan ilmu pengetahuan, sumber daya, dan kekuatan kolektif untuk memastikan setiap anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing. Masa depan generasi Indonesia ada di tangan kita semua, dan langkah kecil yang kita ambil hari ini akan menjadi lompatan besar bagi bangsa di masa depan. (*)