Oleh: Zaid Zainal S.Pd, M.Pd, P.Hd
OPINI
PAREPARE, PAREPOS.FAJAR.CO.ID -- Hari Guru tahun ini menjadi momen yang penuh harap dan sorotan, karena hari guru tahun ini hampir bersamaan dengan pergantian pucuk pimpinan di kementerian Pendidikan. Keberadaan nakhoda baru di Kementerian Pendidikan membawa secercah harapan untuk reformasi nyata di sektor pendidikan Indonesia.
Namun, harapan ini juga diselimuti keprihatinan akan berbagai proyek bermasalah yang diwariskan oleh kepemimpinan sebelumnya, yang hingga kini masih dirasakan dampaknya oleh guru di berbagai penjuru negeri.
Kebijakan Penghapusan Ujian Nasional (UN)
Kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN) oleh Menteri Pendidikan sebelumnya menuai pro dan kontra. Dengan dalih mereduksi tekanan pada siswa dan memberikan kesempatan penilaian yang lebih holistik, penghapusan UN memunculkan berbagai tantangan baru.
Tanpa UN, muncul pertanyaan tentang bagaimana evaluasi nasional dapat dilakukan secara merata. Banyak guru merasa kehilangan standar evaluasi yang konsisten dan merindukan pedoman yang jelas. Perhatikan penjelasannya.
Kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN) yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan sebelumnya menimbulkan perdebatan hangat di kalangan masyarakat, pendidik, dan pemerhati pendidikan.
Sebagai salah satu tonggak evaluasi pendidikan yang telah berlangsung selama puluhan tahun, UN selalu menjadi instrumen pengukuran prestasi siswa di tingkat nasional.
Namun, penghapusan ini membawa berbagai sudut pandang yang beragam. Berikut adalah uraian alasan rasionalnya yang dikemukakan dari kubu yang pro:
Mengurangi Stres pada Siswa.
Ujian Nasional sering dianggap sebagai tekanan besar bagi siswa karena menentukan kelulusan mereka. Dalam sistem sebelumnya, hasil UN seolah menjadi penentu utama yang meniadakan pertimbangan proses pembelajaran dan penilaian berkelanjutan. Dengan dihapusnya UN, siswa tidak lagi menghadapi ketakutan yang berlebihan dan dapat fokus pada pengembangan diri secara lebih holistik.
Mendorong Penilaian Berbasis Kompetensi.
Para pendukung penghapusan UN menilai bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga proses belajar siswa.
Mengandalkan ujian berbasis pilihan ganda cenderung membatasi pengukuran kecerdasan siswa yang beragam, terutama keterampilan praktis, kreativitas, dan pengembangan karakter. Pendekatan baru yang menggantikan UN diharapkan lebih mengedepankan evaluasi berdasarkan kompetensi dan keterampilan.
Mencegah Kesenjangan Akses
Salah satu kritik terhadap UN adalah kesenjangan yang mencolok antara siswa di perkotaan dan pedesaan. Kualitas pendidikan yang tidak merata sering kali membuat siswa di daerah terpencil merasa dirugikan karena mereka harus menghadapi ujian yang sama dengan siswa dari kota besar yang memiliki akses pendidikan lebih baik.
Dengan dihapuskannya UN, diharapkan adanya evaluasi yang lebih adil dan memperhatikan faktor kesenjangan tersebut.
Penjelasan mereka yang menginginkan kontra penghapusan UN atau menginginkan dikembalikannya UN, seperti berikut:
Menurunkan Standar Pendidikan Nasional
UN selama ini dianggap sebagai tolok ukur standar nasional pendidikan. Dengan dihapuskannya UN, banyak pihak khawatir bahwa kualitas pendidikan di Indonesia akan sulit diukur secara seragam.
Kehilangan alat ukur ini dapat menyulitkan upaya pemerintah untuk mengetahui capaian pendidikan secara komprehensif dan membandingkan hasil antar daerah atau sekolah.
Mengurangi Semangat Kompetitif
UN juga dinilai memiliki peran penting dalam membentuk semangat kompetitif dan motivasi siswa untuk mencapai hasil terbaik. Tanpa adanya UN, sebagian berpendapat bahwa siswa tidak memiliki "benchmark" yang sama untuk memacu prestasi mereka. Kompetisi yang sehat dianggap penting untuk menumbuhkan semangat belajar yang lebih giat dan terarah.
Keterbatasan Pengawasan Kualitas Evaluasi Sekolah
Dengan dihapuskannya UN, penilaian hasil belajar siswa sepenuhnya diserahkan kepada sekolah.
Namun, ini menghadirkan tantangan dalam hal pengawasan. Ada kekhawatiran bahwa standar penilaian di setiap sekolah akan sangat bervariasi dan dapat menimbulkan ketimpangan kualitas lulusan. Beberapa sekolah mungkin cenderung "mengatur" nilai siswa demi menjaga citra sekolah, tanpa pengawasan yang ketat dari pihak luar.
Program Guru Penggerak
Program Guru Penggerak yang diluncurkan untuk meningkatkan kapasitas dan peran guru dalam membangun ekosistem pendidikan kerap dianggap sebagai konsep bagus di atas kertas.
Kenyataannya, tidak sedikit guru yang mengeluhkan beban administrasi dan pelatihan tambahan yang seolah tidak realistis dengan keterbatasan fasilitas yang mereka miliki, terutama di daerah terpencil.
Pelatihan yang dilakukan secara daring misalnya, seringkali tidak dapat diakses karena keterbatasan jaringan internet di wilayah pedalaman. Banyak pihak berharap bahwa nakhoda baru Kementerian Pendidikan akan memperbaiki mekanisme pelatihan agar lebih inklusif dan ramah terhadap kondisi daerah.
Program Guru Penggerak (PGP) menjadi salah satu kebijakan besar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dalam beberapa tahun terakhir. Program ini bertujuan untuk mencetak guru yang memiliki kompetensi kepemimpinan serta menjadi motor penggerak dalam komunitas pendidikan di sekolah dan sekitarnya.
Namun, di balik visi mulia tersebut, implementasi program ini kerap menghadirkan tantangan serius, baik dari segi anggaran maupun pelaksanaan di lapangan.
Dalam pelaksanaannya, program ini menelan biaya yang tidak sedikit. Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, anggaran yang digelontorkan untuk Guru Penggerak dalam beberapa tahun terakhir diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
Anggaran ini dialokasikan untuk berbagai keperluan, seperti pelatihan daring dan luring, modul pembelajaran, insentif bagi fasilitator, serta pengembangan ekosistem pembelajaran.
Akan tetapi, pertanyaan yang muncul adalah apakah anggaran besar tersebut sepadan dengan dampak yang dirasakan oleh para guru, terutama di daerah-daerah terpencil?
Program Guru Penggerak sering kali terlihat lebih efektif dan terarah di kota-kota besar atau daerah dengan infrastruktur pendidikan yang memadai.
Namun, di wilayah pedalaman dan daerah terpencil, pelaksanaannya cenderung sulit dan sering kali terkesan dipaksakan. Sebagai contoh, pelatihan daring yang menjadi bagian penting dari program ini sangat bergantung pada ketersediaan jaringan internet yang stabil.
Banyak guru di daerah pedalaman tidak dapat mengikuti pelatihan dengan lancar akibat keterbatasan jaringan, sementara modul yang seharusnya memperkaya kompetensi mereka justru menjadi beban tambahan yang tidak relevan.
Beberapa guru di pedalaman Sulawesi Selatan dan daerah lainnya sering kali merasa bahwa mereka hanya menjadi "pelengkap" program besar ini, tanpa benar-benar menerima manfaat yang nyata.
Dana yang sangat besar lebih banyak terfokus pada pengelolaan administratif dan fasilitasi teknis dibandingkan dengan pendampingan yang tepat bagi mereka yang membutuhkan. Dalam beberapa kasus, evaluasi juga terkesan dilakukan untuk memenuhi target administratif, tanpa memperhatikan dampak sesungguhnya terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Platform Merdeka Mengajar (PMM)
Platform Merdeka Mengajar (PMM) hadir dengan misi besar mendukung guru dalam pembelajaran berbasis kompetensi. Sayangnya, banyak guru menganggapnya sebagai beban tambahan dibandingkan dengan manfaat nyata yang mereka rasakan.
Lagi-lagi, keterbatasan akses dan sumber daya menjadi hambatan signifikan. Alih-alih meringankan beban guru, platform ini justru seringkali dirasa memperberat pekerjaan administratif.
Kini, harapan tertuju pada pemimpin baru Kementerian Pendidikan untuk membuat platform ini lebih ramah pengguna dan bermanfaat bagi semua guru, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil.
Menanti Solusi dari Sang Nakhoda Baru
Dalam perjalanannya, setiap menteri pendidikan membawa janji perubahan yang disambut antusias oleh pendidik di seluruh negeri. Namun, tak sedikit yang berubah menjadi kekecewaan saat implementasi kebijakan tidak sesuai harapan.
Guru di berbagai wilayah, terutama di daerah pedalaman, berharap agar kebijakan yang diterapkan lebih mendengar suara dari bawah. Harapan besar juga tertuju pada rencana kenaikan gaji guru, yang hingga kini masih menjadi perdebatan panjang.
Kesejahteraan guru perlu mendapat perhatian utama, karena tanpa penghargaan yang layak, semangat para pendidik untuk berinovasi dan memberikan pengajaran terbaik akan sulit dipertahankan.
Kado terbaik yang diharapkan oleh para guru bukan hanya janji manis, melainkan langkah nyata untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Di Hari Guru ini, sang nakhoda baru di Kementerian Pendidikan diharapkan benar-benar mendengar dan menjawab aspirasi pendidik, terutama mereka yang bertugas di pelosok negeri. Sebuah kado yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi memberikan solusi atas segala tantangan yang ada, sehingga para guru tetap mampu menjadi pelita di tengah gelapnya keterbatasan.
Guru-guru di daerah terpencil berharap bahwa Menteri Pendidikan yang baru mampu meninjau ulang mekanisme pelaksanaan dan alokasi anggaran dari Program Guru Penggerak.
Menggunakan dana besar yang tersedia, diharapkan ada program pendampingan yang lebih terfokus, adaptif, dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Dengan demikian, semangat besar di balik Program Guru Penggerak tidak hanya menjadi angan-angan, tetapi benar-benar mewujudkan perubahan positif di dunia pendidikan, termasuk di wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan.
Selamat Hari Guru Nasional ke-79. Guru Hebat, Indonesia Kuat. (*)