Fadila Fajrianti Ishaq, S.Tr.,Ak
(Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada)
Hari Guru, yang jatuh pada 25 November, seharusnya menjadi momentum untuk merayakan dedikasi dan pengabdian para pendidik. Namun, tahun ini peringatan tersebut diwarnai dengan kisah pilu Supriyani, seorang guru honorer yang sempat menghadapi tuduhan penganiayaan terhadap siswa. Pembebasan Supriyani dari tuduhan ini tidak hanya menjadi kemenangan hukum, tetapi juga mengundang refleksi mendalam tentang bagaimana masyarakat, institusi pendidikan, dan negara memandang profesi guru.
Kasus Supriyani menunjukkan bahwa penghormatan kepada guru tidak cukup hanya diwujudkan melalui selebrasi, tetapi juga dalam tindakan nyata untuk melindungi hak-hak dan martabat mereka.
Supriyani, guru honorer SD Negeri 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara ia ditahan karena tuduhan menganiaya siswa yang merupakan anak seorang polisi dan juga dimitai uang Rp15.000.000 oleh oknum jaksa agar tak ditahan (Laporan Bangka Pos, Rabu 30 Oktober 2024).
Keterangan anak yang menjadi dasar tuduhan terhadap Supriyani semestinya diimbangi dengan bukti kuat lain untuk memastikan keadilan sesuai dengan Pasal 171 KUHAP, yang menyatakan bahwa keterangan anak di bawah 15 tahun bukan merupakan alat bukti sah, melainkan hanya sebagai petunjuk.Namun, proses hukum yang terjadi justru menunjukkan indikasi ketidakadilan.
Ayah dari terduga korban turut campur dalam perkara ini, yang membuka ruang terhadap kemungkinan adanya pertimbangan subjektif. Dalam perspektif etika deontologi, tindakan pihak kepolisian dan campur tangan ayah terduga korban dalam kasus Supriyani menunjukkan pelanggaran terhadap kewajiban moral dan prinsip keadilan yang harusnya dijunjung tinggi dalam penegakan hukum.
Kepolisian, yang seharusnya berperan sebagai pihak netral dan pelindung hak asasi, telah gagal menjalankan tugasnya dengan memaksa Supriyani meminta maaf meskipun tuduhan tidak memiliki dasar bukti yang kuat.Dalam sudut pandang etika utilitarianisme,yang menilai tindakan berdasarkan manfaat yang dihasilkan untuk sebanyak mungkin orang, langkah hukum ini tidak hanya mengembalikan martabat Supriyani sebagai pendidik, tetapi juga memberikan manfaat besar bagi profesi guru secara keseluruhan.
Guru yang sering kali berada dalam posisi rentan, kini mendapatkan pengakuan bahwa sistem hukum mampu memberikan perlindungan yang layak. Keputusan ini juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum sebagai pilar penting dalam menjaga harmoni sosial.Dari perspektif virtueethics, yang menekankan pentingnya kebajikan moral seperti keadilan, empati, dan keberanian, kasus ini menjadi pengingat untuk terus menanamkan nilai-nilai tersebut dalam sistem pendidikan.
Pembebasan Supriyani adalah bentuk keadilan, memastikan bahwa seseorang tidak dihukum tanpa bukti yang jelas. Lebih jauh lagi, empati terhadap perjuangan guru, terutama mereka yang harus menjalankan tugas di bawah keterbatasan sumber daya dan tekanan sosial, perlu terus ditanamkan. Guru tidak hanya mendidik, tetapi juga sering kali harus menghadapi tantangan moral dalam situasi yang kompleks. Dengan memperlakukan mereka secara manusiawi, kita tidak hanya menghormati profesi guru, tetapi juga membangun sistem pendidikan yang lebih beradab.
Selain itu, institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi dan mendukung para guru, khususnya mereka yang bekerja sebagai honorer seperti Supriyani. Tanggung jawab sosial institusi pendidikan harus mencakup dukungan nyata bagi para guru, mulai dari pendampingan hukum, konseling, hingga pelatihan menghadapi konflik. Institusi tidak boleh hanya berfokus pada siswa, tetapi juga harus menciptakan lingkungan kerja yang aman dan suportif bagi tenaga pendidik.
Dengan langkah ini, kualitas pendidikan akan meningkat seiring dengan penghormatan yang lebih baik terhadap hak dan martabat para guru.Kasus ini memberikan gambaran nyata bagaimana profesi guru sering kali kurang mendapatkan perlindungan dan penghargaan yang semestinya. Hari Guru seharusnya menjadi momen refleksi dan pmerintah perlu menciptakan sistem yang tidak hanya menghargai peran guru sebagai tokoh utama dalam pendidikan, tetapi juga memastikan perlindungan mereka sebagai fondasi utama pembangunan bangsa. (*)