OPINI: Peran UU ITE dalam Menangani Hoaks dan Disinformasi

  • Bagikan

Oleh: Muhammad Ihlasul Rahman Nurhat (Mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Kota Parepare)

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan salah satu regulasi yang berperan penting dalam menanggulangi berbagai tantangan yang muncul akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi di Indonesia. 

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah penyebaran hoaks dan disinformasi yang berpotensi merusak tatanan sosial, keamanan, dan kepercayaan masyarakat terhadap informasi. 

Dalam konteks ini, UU ITE memiliki posisi strategis sebagai instrumen hukum untuk menangani berbagai dampak negatif dari hoaks dan disinformasi.

UU ITE memberikan landasan hukum yang jelas bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindak penyebaran informasi yang bersifat palsu, menyesatkan, dan merugikan. 

Pasal 28 ayat (1) UU ITE, misalnya, mengatur bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu maupun kelompok masyarakat. 

Ketentuan ini relevan dalam upaya melindungi masyarakat dari dampak hoaks yang sering kali mengarah pada keresahan atau bahkan konflik sosial.

Dalam praktiknya, UU ITE telah digunakan untuk menindak pelaku penyebaran hoaks yang menyangkut isu-isu sensitif seperti politik, agama, dan kesehatan. Contoh nyata adalah penindakan terhadap hoaks yang menyebar selama masa pandemi COVID-19, di mana informasi palsu mengenai vaksin, pengobatan, atau statistik penyebaran virus berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat secara luas. 

Dengan adanya sanksi pidana dalam UU ITE, pelaku penyebar hoaks dapat dijerat hukum, memberikan efek jera, dan mendorong masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi.

- Tantangan dalam Penerapan UU ITE

Meskipun UU ITE memiliki peran signifikan, implementasinya tidak lepas dari tantangan. Salah satu kritik utama terhadap UU ITE adalah keberadaan pasal-pasal yang dianggap multitafsir, seperti Pasal 27 tentang penghinaan atau pencemaran nama baik. 

Dalam beberapa kasus, pasal ini digunakan untuk menjerat individu yang mengungkapkan kritik terhadap pihak tertentu, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan pembatasan kebebasan berekspresi. 

Hal ini menunjukkan bahwa penerapan UU ITE harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menyimpang dari tujuan utamanya, yakni menjaga ruang digital yang aman dan sehat.

Selain itu, penegakan hukum yang lebih berfokus pada pendekatan represif terkadang mengabaikan aspek edukasi. Padahal, menangani hoaks dan disinformasi tidak cukup hanya dengan menindak pelaku, tetapi juga membutuhkan pendekatan preventif melalui literasi digital. 

Masyarakat yang melek digital cenderung lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima, sehingga dapat meminimalkan penyebaran hoaks secara signifikan.

- Pentingnya Literasi Digital

UU ITE akan lebih efektif jika didukung oleh peningkatan literasi digital masyarakat. Literasi digital melibatkan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang beredar di media digital. 

Dengan literasi yang baik, masyarakat dapat mengenali tanda-tanda hoaks, seperti informasi yang tidak memiliki sumber kredibel atau menggunakan judul yang sensasional. 

Pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan platform digital memiliki peran penting dalam menyelenggarakan program-program literasi digital yang berfokus pada deteksi dan pencegahan hoaks.

Selain itu, kolaborasi dengan platform media sosial dan teknologi juga menjadi kunci dalam memberantas hoaks. Algoritma yang dapat mendeteksi dan menurunkan konten palsu, serta sistem pelaporan yang responsif, dapat membantu mengurangi penyebaran informasi yang tidak akurat. 

Dengan sinergi antara regulasi yang tegas dan teknologi yang mendukung, ruang digital dapat menjadi lebih aman dan terjaga.

- Revisi dan Penguatan Regulasi

Untuk mengatasi kekurangan yang ada, pemerintah telah mempertimbangkan revisi UU ITE, terutama pada pasal-pasal yang kerap menjadi kontroversi. Langkah ini diharapkan dapat memperjelas tafsir hukum dan memastikan penerapan UU ITE lebih adil serta tidak menghambat kebebasan berekspresi. 

Penguatan regulasi juga harus mencakup pengaturan yang lebih spesifik terkait hoaks, termasuk definisi yang jelas dan mekanisme penanganannya.

Revisi tersebut harus didukung dengan transparansi dan keterlibatan publik agar dapat menghasilkan regulasi yang seimbang antara perlindungan masyarakat dari hoaks dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, terutama kebebasan berbicara.

UU ITE memiliki peran yang sangat penting dalam menangani hoaks dan disinformasi di Indonesia. Dengan menyediakan dasar hukum yang jelas, UU ini membantu melindungi masyarakat dari dampak negatif informasi palsu yang dapat merugikan individu maupun kepentingan umum. Namun, penerapan UU ITE harus dilakukan secara bijak agar tidak disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi. 

Selain itu, penguatan literasi digital dan kolaborasi dengan platform teknologi juga merupakan langkah esensial untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat.

Dengan revisi regulasi yang sesuai, penegakan hukum yang proporsional, dan edukasi yang masif, UU ITE dapat menjadi instrumen yang lebih efektif untuk menghadapi tantangan di era digital. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap informasi dan menciptakan ruang digital yang aman, produktif, dan berintegritas. (*)

Editor: PARE POS
  • Bagikan

Exit mobile version