Efisiensi yang Tak Efisien

  • Bagikan

Oleh: Suhartina , M.Pd.
Dosen Bahasa Indonesia IAIN Parepare

Istilah efisiensi kini menjadi dalih ampuh dalam berbagai kebijakan. Anggaran dipangkas, tunjangan dikurangi, program dipreteli—semua atas nama efisiensi. Seolah-olah ini adalah strategi jitu untuk meningkatkan produktivitas. Namun, benarkah efisiensi ini membawa perbaikan, atau hanya cara instan untuk menekan pengeluaran tanpa memikirkan akibatnya?

Seorang teman yang lebih nyaman nongkrong di warung kopi daripada di kampus pernah bertanya, “Yang benar efisiensi atau efesiensi?” Saya tersenyum, getir. Ini mungkin akibat saya terlalu sering mengomentari selebaran yang tertulis sivitas akademika, padahal yang benar civitas academica.

Banyak kata yang keliru terus digunakan hanya karena terbiasa, seolah kesalahan yang berulang bisa dianggap sebagai kebenaran. Kerja sama disatukan menjadi kerjasama, terima kasih ditulis terimakasih, dan kalau dibiarkan, jangan-jangan suatu hari nanti tidak apa-apa berubah menjadi tidakpapa.

Lucunya, kesalahan ini tidak hanya bertahan tetapi juga diwariskan. Ramadan menjadi Ramadhan, seolah tambahan "dh" membuatnya lebih Islami. Imbauan berubah menjadi himbauan. Lalu ada silakan yang terus ditulis silahkan. Padahal, ini seperti mengubah makan menjadi makang—bedanya, kita cepat sadar jika kelebihan -g, tapi entah mengapa tetap santai saat menambah -h.

Tak ketinggalan, Insyaallah yang sering salah tulis, terutama dalam dokumen resmi. Surat edaran dan undangan masih menampilkan berbagai versi: insha Allah, bahkan insyaa Allah. Padahal, dalam ejaan bahasa Indonesia yang baku, yang benar adalah insyaallah, bukan sekadar karena transliterasi, tetapi karena standar kebahasaan yang telah disepakati.

Masalahnya, ada saja yang membela kesalahan ini dengan dalih “maknanya kan tetap sama.” Bahkan, ada yang merasa berwawasan luas dan berkata, "Bahasa itu berkembang!" sambil mengutip teori yang entah mereka pahami atau tidak. Ada pula yang berdalih, "Yang penting bisa dipahami," seakan-akan standar kebahasaan hanyalah sekadar urusan selera.

Jika begitu, kenapa kita masih diajarkan menulis sesuai kaidah? Jika kebiasaan bisa mengubah kesalahan menjadi kebenaran, jangan heran jika suatu hari nanti skripsi berganti nama menjadi ujian ketahanan mental dan dianggap sah.

Ironisnya, kaum akademik yang seharusnya menjaga kredibilitas bahasa justru ikut larut dalam kekeliruan ini. Kesalahan berulang di jurnal, makalah, dokumen resmi, hingga seminar ilmiah. Jika dasar berbahasa saja diabaikan, bagaimana bisa bicara soal kredibilitas akademik?

Lebih dari sekadar kelalaian, ini menunjukkan lemahnya peran akademisi dalam menyosialisasikan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Menggunakan bahasa sesuai kaidah bukan berarti menolak bahasa asing atau daerah, tetapi menempatkan bahasa sesuai konteks.

Kita boleh berbicara dengan bahasa daerah dalam diskusi budaya atau menulis artikel ilmiah dalam bahasa Inggris. Namun, dalam dokumen resmi dan akademik berbahasa Indonesia, ketepatan bahasa adalah tanggung jawab intelektual. Jika akademisi sendiri tidak peduli dengan bahasanya, siapa lagi yang bisa diharapkan?

Lucunya, cara kita memahami efisiensi tak jauh berbeda dengan cara kita memahami bahasa. Jika dalam bahasa, kesalahan yang terus diulang dianggap wajar, dalam kebijakan, pemangkasan yang tidak tepat justru disebut langkah maju.

Seperti bahasa yang dibiarkan melenceng dari kaidahnya, efisiensi pun sering diterapkan tanpa logika yang jelas.
Alih-alih memangkas yang tidak perlu, kebijakan efisiensi justru sering menyasar sektor vital, sementara pemborosan di tempat lain tetap berlangsung tanpa gangguan.

Bukti paling nyata adalah kebijakan efisiensi yang justru berujung pada pemborosan. Anggaran pendidikan dipangkas, tetapi proyek mercusuar tetap berjalan. Subsidi dikurangi, tetapi jumlah pejabat terus bertambah. Ada instansi yang sibuk mengampanyekan efisiensi, tetapi masih menggelar acara seremonial mewah.

Jika logika ini terus digunakan, jangan kaget jika suatu hari kita mendengar kebijakan "hemat energi" yang dilakukan dengan mematikan lampu di sekolah/kampus dan rumah sakit, sementara lampu di gedung pemerintahan tetap menyala terang hingga dini hari.

Efisiensi bukan sekadar memangkas anggaran tanpa strategi yang jelas. Efisiensi adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya secara optimal tanpa mengorbankan kualitas. Sama halnya dengan bahasa: bukan sekadar mengikuti kebiasaan yang sudah lazim, tetapi memastikan bahwa setiap kata memiliki makna yang tepat dan sesuai kaidah.
Jika kesalahan terus dibiarkan, bahasa yang tertata hanya akan menjadi ilusi, dan efisiensi yang dijanjikan hanya akan menjadi slogan kosong.

Akhirnya, dalam semangat efisiensi yang katanya sedang digalakkan, saya berharap tidak ada yang menghemat huruf dalam ucapan "Selamat menunaikan ibadah puasa" menjadi "Slmt mnunakn ibdh pusa". Menghemat huruf dalam bahasa tidak akan membawa efisiensi, sama seperti memangkas hal penting dalam kebijakan tidak akan membawa perbaikan. Yang tersisa hanya pembenaran untuk sebuah kemalasan sistematis.

Biodata
Suhartina, M.Pd., adalah seorang akademisi dan penulis yang aktif dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia. Selain mengajar, ia juga terlibat dalam berbagai organisasi, termasuk sebagai Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Parepare dan anggota Asosiasi Dosen Bahasa Indonesia Sulawesi Selatan. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version