Janji Politik VS Efisiensi Anggaran

  • Bagikan

Oleh: Rusdianto Sudirman, S.H, M.H, C.MeDosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

Pasca pelaksanaan pilkada serentak dan pelantikan kepala daerah terpilih, janji politik menjadi salah satu senjata utama bagi para kepala daerah terpilih untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat. Janji-janji ini seringkali diwujudkan dalam bentuk program-program yang terkesan dipaksakan dan ambisius, seperti pembangunan infrastruktur besar-besaran, peningkatan kesejahteraan rakyat, atau perubahan di berbagai sektor.

Namun, di balik janji-janji politik tersebut, ada satu tantangan yang menjadi hambatan para kepala daerah yang baru dilantik yaitu Efisiensi anggaran. Instruksi Presiden dan Surat Edaran Mendagri tentang efesiensi anggaran keuangan negara mau tidak mau akan berimplikasi terhadap pelaksanaan janji politik atau program prioritas kepala daerah kedepannya.

Efisiensi anggaran menjadi isu yang sangat penting dalam konteks pembangunan dan pemerintahan. Anggaran negara atau daerah adalah sumber daya yang terbatas, dan penggunaannya harus dilakukan dengan bijak agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Namun, seringkali terjadi ketidakselarasan antara janji politik yang diumbar selama kampanye dengan realitas anggaran yang tersedia. Hal ini menimbulkan dilema antara memenuhi harapan publik yang tinggi dengan keterbatasan sumber daya yang ada.

Menurut Penulis, Janji politik adalah bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh calon pemimpin mereka jika terpilih. Janji-janji ini biasanya dirancang untuk menjawab kebutuhan dan aspirasi masyarakat, seperti pembangunan infrastuktur, ketersediaan lapangan kerja, peningkatan kualitas pendidikan, atau perbaikan pelayanan kesehatan. Namun, masalah muncul ketika janji-janji tersebut tidak didasarkan pada analisis yang matang mengenai kemampuan anggaran yang tersedia.

Contoh yang sering kita lihat adalah janji pembangunan infrastruktur besar-besaran. Misalnya, seorang calon kepala daerah menjanjikan pembangunan atau perbaikan jalan. Janji ini tentu saja menarik perhatian masyarakat, terutama jika daerah tersebut memang membutuhkan perbaikan infrastruktur jalan yang lebih baik. Namun, pertanyaannya adalah: apakah anggaran yang tersedia mencukupi untuk mewujudkan janji tersebut? Apakah proyek-proyek tersebut benar-benar prioritas atau hanya sekadar janji politik yang sengaja untuk ingkari?

Dalam banyak kasus, janji politik yang tidak realistis justru berujung pada pemborosan anggaran. Proyek-proyek yang tidak direncanakan dengan baik seringkali mengalami pembengkakan biaya, keterlambatan, atau bahkan tidak selesai sama sekali. Akibatnya, anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program lain yang lebih mendesak justru terbuang percuma.

Menurut penulis, Salah satu tantangan terbesar dalam mencapai efisiensi anggaran adalah adanya tekanan politik. Kepala daerah terpilih seringkali dihadapkan pada tuntutan untuk memenuhi janji-janji kampanye, meskipun hal tersebut tidak sejalan dengan prioritas anggaran yang ada. Misalnya, sebuah proyek infrastruktur mungkin dipaksakan untuk dilaksanakan hanya karena telah dijanjikan selama kampanye, padahal proyek tersebut sebenarnya tidak mendesak atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Selain itu, korupsi dan inefisiensi dalam birokrasi juga menjadi faktor penghambat efisiensi anggaran. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru dikorupsi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, program-program yang seharusnya bisa memberikan manfaat bagi masyarakat justru tidak terlaksana dengan baik. Misalnya Anggaran perjalanan dinas dan anggaran rapat-rapat setiap Organisasi Perangkat Daerah sering kali hanya menjadi ajang pemborosan atau bahkan menjadi kegiatan fiktif yang berujung korupsi.

Lalu, bagaimana cara menjembatani antara janji politik dan efisiensi anggaran? Pertama, para calon pemimpin harus lebih realistis dalam membuat janji-janji politik. Janji-janji tersebut harus didasarkan pada analisis yang matang mengenai kemampuan anggaran yang tersedia dan kebutuhan riil masyarakat. Dengan demikian, janji-janji tersebut tidak hanya sekedar omon-omon, tetapi benar-benar dapat diwujudkan.

Kedua, pemerintah harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui bagaimana anggaran negara digunakan. Dengan adanya transparansi, diharapkan dapat mengurangi praktik korupsi dan inefisiensi dalam birokrasi. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran juga harus ditingkatkan agar penggunaan anggaran dapat lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, pemerintah perlu melakukan identifikasi program-program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Tidak semua janji politik harus diwujudkan dalam waktu singkat. Pemerintah harus memiliki skala prioritas yang jelas, sehingga anggaran yang terbatas dapat digunakan untuk program-program yang paling mendesak dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.

Janji politik dan efisiensi anggaran adalah dua hal yang seringkali bertolak belakang. Di satu sisi, janji politik diperlukan untuk menarik dukungan masyarakat, sementara di sisi lain, efisiensi anggaran adalah prinsip yang harus dipegang teguh untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan memberikan manfaat yang maksimal. Untuk menjembatani keduanya, diperlukan komitmen dari para pemimpin untuk lebih realistis dalam membuat janji-janji politik, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran, serta melakukan prioritisasi program-program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.

Dalam konteks demokrasi, masyarakat juga memiliki peran penting untuk mengawasi dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin mereka. Dengan demikian, janji politik tidak hanya menjadi retorika kosong, tetapi benar-benar dapat diwujudkan untuk kesejahteraan rakyat.

  • Bagikan

Exit mobile version