Rusdianto Sudirman, S.H,M.H.
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang digulirkan belakangan ini menuai berbagai reaksi dari masyarakat. Salah satu isu yang mencuat adalah kekhawatiran akan bangkitnya kembali Dwi Fungsi ABRI, sebuah konsep yang pernah menjadi ciri khas militer Indonesia pada masa Orde Baru. Dwi Fungsi ABRI, yang memungkinkan militer untuk terlibat dalam politik dan pemerintahan, dianggap sebagai salah satu faktor yang menghambat demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu, revisi UU TNI harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengembalikan Indonesia ke masa lalu yang penuh dengan intervensi militer dalam ranah sipil.
Secara historis kekuatan militerisme di Indonesia sangat mempengaruhi stabilitas politik , pemerintahan dan keamanan dalam negeri. Di mulai sejak Presiden Soeharto pegang kekuasaan pasca 1966, yang pada saat itu pemilu dijadwalkan sebelum Juli 1968 tapi akhirnya ditunda dan baru laksanakan pada tahun1971 dengan peserta pemilu baru yaitu Golkar. Didukung birokrasi dan ABRI, Golkar menang 62,8 persen. Hanya Partai NU di belakangnya yang mendaptakan perolehan suara denga persentase suara yaitu 18 %, sementara PNI 6,9% dan Parmusi 5,3 %. Ini merupakan konsolidasi kedua Orde Baru pasca pembubaran PKI.
Konsolidasi Orde Baru yang ketiga pada tahun 1973 saat partai peserta pemilu dikurangi menjadi hanya jadi 3 partai yaitu Golkar, PDI, PPP. Kelompok nasionalis dan non-muslim mayoritas bergabung dengan PDI, kelompok Islam di PPP.
Pemilu berikutnya baru ada lagi pada tahun 1977, saat Orde Baru sudah merasa mantap dengan posisinya, dengan hasil: Golkar tetap memperoleh 62% seperti pemilu 1971, PPP yang merupakan gabungan partai Islam (partai NU sudah tidak ada karena bargabung di dalamnya) 29,2 % dan PDI memperoleh 8,6 %. Orde baru makin mapan dan partai lain terkesan hanya pelengkap di pemilu.
Pemilu 1977 hingga pemilu 1997 praktis hanya seremoni. Karena media dan birokrasi sepenuhnya dikuasai Orde baru yang tak lain rezim tentara. Dan selama 1971 hingga runtuh 1998 rezim militer ini nyaris tanpa lawan karena yang lain sudah ditundukkan lewat kompensasi atau intimidasi. Hanya NU yang di awal relatif mampu melawan, tapi juga akhirnya dipinggirkan dan tiarap selama puluhan tahun.
Padahal di masa-masa awal saat konfrontasi dengan PKI banyak partai (termasuk NU) satu kubu dengan tentara. Tapi pelan-pelan, terhitung lima tahun dari 1966 hingga 1971, tentara mulai mendominasi segala lini dengan peran dwi-fungsinya, dan unsur lain kalah dan menyerah juga. Barulah pada tahun 1998 rezim ini runtuh.
Jadi kekuasaan militeristik itu bisa datang tiba-tiba, bisa juga pelan-pelan. Dan jika tentara sudah di mana-mana, siapa bisa melawannya? Karena ia menguasai gudang senjata dan mempunyai pasukan di setiap wilayah baik di darat, laut dan udara.
Tentara juga tidak didesain berdiskusi terbuka, menerima kritik apalagi ejekan atau satire yang lazim dalam iklim demokrasi sebagai bagian dari kontrol warga. Rezim militeristik akan mudah tersinggung, dan kalau tersinggung repot karena punya senjata. Sementara manusia akan bicara dengan bahasa yang dia kuasai.
Sejak reformasi 1998, Indonesia telah berusaha memisahkan peran militer dari politik. TNI difokuskan pada tugas pertahanan dan keamanan negara, sementara urusan politik diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sipil. Hal ini merupakan langkah penting dalam membangun demokrasi yang sehat dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh militer. Namun, dengan adanya wacana revisi UU TNI, muncul kekhawatiran bahwa TNI akan kembali diberikan ruang untuk terlibat dalam urusan sipil, termasuk politik.
Salah satu poin yang menjadi perdebatan dalam revisi UU TNI adalah perluasan peran TNI dalam menangani ancaman non-militer, seperti terorisme, bencana alam, dan bahkan masalah sosial. Meskipun pada dasarnya TNI memiliki kapasitas untuk membantu dalam situasi darurat, perluasan peran ini berpotensi mengaburkan batas antara tugas militer dan sipil. Jika tidak diatur dengan jelas, hal ini dapat membuka peluang bagi TNI untuk kembali memasuki ranah politik, seperti yang terjadi pada masa Dwi Fungsi ABRI.
Di sisi lain, ada argumen yang menyatakan bahwa TNI perlu memiliki fleksibilitas dalam menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks. Ancaman seperti terorisme dan bencana alam memang memerlukan penanganan yang cepat dan terkoordinasi, dan TNI memiliki sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk itu. Namun, fleksibilitas ini tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Oleh karena itu, revisi UU TNI harus memastikan bahwa peran TNI tetap terbatas pada tugas-tugas yang bersifat darurat dan tidak meluas ke urusan politik.
Penting bagi pemerintah dan DPR untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, dalam proses revisi UU TNI. Transparansi dan partisipasi publik akan membantu memastikan bahwa revisi ini tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga memperkuat demokrasi dan hak-hak sipil. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh TNI.
Pada akhirnya penulis menyimpulkan, revisi UU TNI adalah langkah yang perlu dilakukan untuk menyesuaikan peran TNI dengan tantangan keamanan kontemporer. Namun, hal ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengembalikan Indonesia ke era Dwi Fungsi ABRI. Prinsip supremasi sipil dan demokrasi harus tetap menjadi landasan utama dalam setiap perubahan yang dilakukan. Dengan demikian, TNI dapat tetap menjadi penjaga kedaulatan negara tanpa mengorbankan kemajuan demokrasi yang telah dicapai selama ini.