Disharmoni Kepala Daerah dan DPRD: Menata Ulang Relasi Politik Daerah

  • Bagikan

Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

Pasca Pilkada serentak terakhir, muncul fenomena yang cukup mengkhawatirkan di banyak daerah, hubungan antara kepala daerah dan DPRD berjalan tidak harmonis. Dalam sejumlah kasus, relasi itu bahkan memburuk dan berubah menjadi perseteruan politik yang mengganggu jalannya pemerintahan. Akar masalahnya pun beragam, misalnya dendam politik, efek mutasi dan pergeseran jabatan di jajaran pemerintahan daerah pasca pilkada, dan terkait penyusunan anggaran yang masing-masing ngotot ingin kepentingan politiknya terakomodir. Apalagi setelah adanya instruksi efesiensi anggaran, perjalanan dinas DPRD dipangkas 50 % sehingga banyak anggota DPRD yang hobbynya jalan-jalan merasa kewenangan mereka dibatasi.

Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat justru kerap merasa tersandera oleh dinamika politik di DPRD, terutama bila lembaga legislatif itu dikuasai oleh partai-partai oposisi. Ketidakharmonisan ini berdampak serius: program pembangunan daerah dan pelayanan publik tersendat karena konflik antara dua pilar utama pemerintahan daerah.

Dari perspektif hukum tata negara, fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan relasi antara kekuasaan eksekutif daerah yang diperoleh lewat mandat pemilihan langsung oleh rakyat, dan kekuasaan legislatif daerah yang juga memiliki legitimasi hasil pemilu legislatif. Ketika kepala daerah dan DPRD berasal dari partai atau koalisi politik yang berbeda, perbedaan kepentingan dan visi dapat dengan mudah menjelma menjadi konflik yang berkepanjangan.

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kepala daerah dan DPRD adalah mitra sejajar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun dalam praktik politik, DPRD memiliki fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran, yang dapat digunakan sebagai alat tekanan terhadap kepala daerah.

Ketika DPRD dikuasai oleh oposisi, berbagai instrumen politik seperti hak interpelasi, hak angket, bahkan hak menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menekan kepala daerah. Di sisi lain, kepala daerah tidak memiliki mekanisme kontrol balik terhadap DPRD yang setara. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan, di mana DPRD bisa memposisikan diri sebagai oposisi permanen, bukan sebagai mitra dalam pemerintahan.

Fakta empiris dibeberapa daerah, perilaku anggota DPRD sering kali sengaja tidak hadir dalam sidang paripurna dalam pembahasan hal strategi daerah, dengan sengaja agar rapat paripurna tidak kuorum, sehingga agenda pembahasan kebijakan strategis terus tertunda.

Dalam sistem presidensial yang kita anut, termasuk di tingkat daerah, prinsip check and balances adalah keniscayaan. Namun, check and balances semestinya bersifat saling mengoreksi, bukan saling menjatuhkan. Ketika fungsi pengawasan DPRD berubah menjadi alat sabotase politik, stabilitas pemerintahan menjadi taruhannya.

Konflik antara kepala daerah dan DPRD tidak hanya menghambat kinerja pemerintahan, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap demokrasi lokal. Masyarakat melihat bagaimana elit politik justru terjebak dalam konflik kepentingan partai, alih-alih fokus pada pelayanan publik dan pembangunan daerah.

Padahal, esensi dari demokrasi lokal adalah mendekatkan kekuasaan kepada rakyat. Ketika institusi-institusi lokal justru menjadi arena pertarungan kekuasaan yang tidak sehat, maka demokrasi kehilangan makna substantifnya. Yang dirugikan, tentu saja, adalah masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.

Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa pemilu, meski demokratis dalam prosedur, belum tentu menghasilkan pemerintahan yang efektif secara substansi. Tanpa rekayasa kelembagaan dan budaya politik yang sehat, pemilu hanya melahirkan konflik-konflik baru dalam struktur pemerintahan daerah.

Menurut penulis, dalam menghadapi disharmoni ini, diperlukan solusi yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh akar struktural dan kultural dari masalah.
Pertama, Collaborative Governance (politik kolaboratif) harus dibangun kembali di tingkat daerah. Para elite politik baik dari eksekutif maupun legislatif harus menyadari bahwa kepentingan rakyat jauh lebih penting daripada kepentingan partai. Kesadaran ini perlu tumbuh melalui pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, dan pembinaan etika politik yang kuat. Pengaruh konsultan politik dan donatur yang membiayai suksesi pilkada harus dibatasi. Bukan berarti keberadaan mereka tidak memiliki peranan, akan tetapi perlu ada pembatasan. Agar tugas-tugas perangkat daerah tidak terkesan diperintah oleh konsultan politik dan donatur, apalagi ikut campur dalam lelang proyek dan pengisian jabatan.

Kedua, perlu dibuka kembali ruang diskusi publik untuk membahas kemungkinan reformasi sistem pemerintahan daerah. Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan adalah pembentukan koalisi pemerintahan daerah pasca pilkada. Sehingga partai-partai yang sebelumnya berlawanan pada saat pilkada karena beda usungan, dapat bergabung dalam koalisi pemerintahan dengan semangat dan motivasi yang sama yakni mewujudkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Model ini lazim diterapkan dalam sistem parlementer, namun tentu dengan penyesuaian terhadap sistem presidensial yang berlaku di Indonesia.

Koalisi pemerintahan daerah dapat memberikan stabilitas politik, terutama di daerah-daerah yang mengalami fragmentasi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Tentu saja, penerapan model ini membutuhkan perubahan regulasi serta kesepakatan politik yang luas.

Ketiga, penguatan peran Kementerian Dalam Negeri sebagai pengadil dalam dinamika politik lokal sangat penting. Kemendagri harus aktif dalam melakukan supervisi dan mediasi terhadap konflik antara kepala daerah dan DPRD. Melalui pendekatan dialogis dan fasilitasi, Kemendagri dapat membantu membangun kesepahaman dalam penyusunan RPJMD, APBD, serta kebijakan strategis lainnya. Kemendagri juga dapat memberikan sanksi administratif kepada pihak-pihak yang menghambat proses pemerintahan daerah secara tidak proporsional. Namun tentu Tugas ini memerlukan keberanian politik dan integritas kelembagaan yang tinggi.

Relasi antara kepala daerah dan DPRD adalah cerminan dari kualitas demokrasi lokal. Ketika hubungan ini diwarnai oleh konflik politik yang berkepanjangan, maka pemerintahan daerah akan kehilangan efektivitas dan legitimasi. Lebih dari itu, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada institusi-institusi demokrasi.
Untuk itu, diperlukan upaya kolektif yang menyentuh dimensi hukum, politik, dan etika.

Sudah saatnya pemerintah pusat, partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil bersama-sama menata ulang pola hubungan kekuasaan di daerah, agar demokrasi lokal tidak hanya berjalan prosedural, tetapi juga substantif dan bermartabat.

Harmonisasi antara kepala daerah dan DPRD bukan berarti menghapus kritik dan pengawasan, tetapi menciptakan ruang kerja sama yang sehat dan produktif demi kepentingan masyarakat luas. Demokrasi tidak cukup hanya berlangsung di bilik suara melainkan harus nyata terasa dalam kebijakan dan tindakan pemerintahan sehari-hari.

  • Bagikan

Exit mobile version