PINRANG,PAREPOS.FAJAR.CO.ID – Pemerintah Kabupaten Pinrang dan DPRD Pinrang hingga kini belum menemukan solusi penyelesaian konflik tambang CV. Ponro Kanni di Lingkungan Ta’e, Kecamatan Paleteang. Kebuntuan ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPRD Pinrang dengan pemerintah, pemilik tambang, dan masyarakat terdampak pada 16 April lalu.
Ketua Komisi II DPRD Pinrang, Amri Manangkasi, menyatakan bahwa aktivitas tambang telah menimbulkan dampak serius terhadap lahan pertanian dan pemukiman warga. "Tambang ini mengganggu kehidupan warga, terutama karena menutup saluran irigasi yang vital bagi pertanian," ujar politisi Golkar tersebut.
Pernyataan itu diperkuat oleh La Ode Karman dari Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup (Perkim LH). Ia mendesak perusahaan untuk segera mengambil langkah mitigasi. "CV. Ponro Kanni wajib mematuhi kaidah pertambangan, seperti pengelolaan limbah air dan pengendalian polusi udara, termasuk debu. Ini untuk memastikan dampaknya tidak melampaui ambang batas," tegas La Ode.
Konflik semakin rumit karena meski memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), lokasi tambang ternyata masuk dalam kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Pinrang. Sementara itu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemprov Sulawesi Selatan justru mengizinkan aktivitas tambang di area tersebut.
Ilham, pejabat Dinas PUPR Pinrang, mengakui kebingungan pemerintah daerah. "Ini dilema. UU Pertambangan melindungi pemegang IUP, tapi di sisi lain, dampaknya meresahkan warga. Kami serba salah," ungkapnya.
Pemilik tambang, H. Arsyad, mengklaim telah melakukan upaya meminimalkan dampak, seperti penyemprotan air rutin di jalan tambang dan perbaikan saluran irigasi sepanjang 400 meter. "Jika masih ada kekurangan, kami siap memenuhi kewajiban lingkungan sesuai arahan pemerintah," janjinya.(*)