Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Beberapa hari lalu, Sidrap, Sulawesi Selatan, mendadak ramai diperbincangkan. Puluhan anak muda ditangkap karena diduga menjadi bagian sindikat penipuan daring atau yang dikenal dengan nama "Passobis". Tapi yang bikin heboh bukan sekadar soal kejahatannya. Yang bikin orang terbelalak adalah: yang melakukan penangkapan ternyata anggota TNI, dipimpin langsung oleh Pangdam XIV/Hasanuddin.
Sebagian masyarakat mungkin menganggap ini langkah cepat dan berani melawan kejahatan siber. Namun, dari kaca mata hukum, cerita ini justru membawa kita pada masalah besar, soal batas wewenang militer dalam negara hukum.
Dalam sistem hukum kita, tugas menangkap warga sipil itu jelas berada di tangan polisi, bukan tentara. Hukum acara pidana (KUHAP) mengatur secara rinci bagaimana prosedur penangkapan harus dilakukan, mulai dari soal surat perintah sampai perlindungan hak tersangka.
Tentara, sebagai alat pertahanan negara, seharusnya hanya turun tangan dalam situasi darurat militer atau bila diminta secara resmi dan sah.
Aturannya tertulis gamblang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 7 ayat (2) menyebutkan tugas-tugas TNI di luar perang, seperti membantu korban bencana atau menjaga objek vital. Urusan menangkap warga sipil? Tidak ada dalam daftar.
Memang, belakangan ini ada perubahan dalam UU TNI. Salah satunya, kejahatan siber kini masuk dalam daftar ancaman yang bisa ditangani TNI. Tapi, perlu digarisbawahi, peran itu bersifat defensif. Artinya, TNI bertugas mengamankan jaringan strategis negara dari serangan, bukan mengejar-ngejar penipu online.
Kasus Passobis ini adalah soal penipuan, kejahatan pidana biasa. Bukan ancaman terhadap kedaulatan negara. Bukan sabotase terhadap sistem pertahanan atau jaringan vital nasional. Karena itu, penanganannya tetap menjadi ranah polisi, bukan tentara.
Jika TNI melakukan penangkapan terhadap warga sipil tanpa dasar hukum yang jelas, itu berpotensi melanggar hak asasi manusia dan merusak prinsip due process of law. Dalam kacamata hukum internasional, ini bahkan bisa disebut sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip proporsionalitas dan keperluan hukum (necessity).
Lebih jauh, ada kekhawatiran lain yang mengintip dari kejadian ini. Apakah kita sedang melihat gejala kembalinya dominasi militer dalam urusan sipil, seperti masa Orde Baru? Dulu kita tahu Dwi Fungsi ABRI, sipil dan militer sekaligus adalah salah satu penyebab utama hilangnya demokrasi.
Dengan dalih menghadapi ancaman siber, jangan-jangan kini jalan belakang untuk menghidupkan kembali "Dwi Fungsi" itu sedang dibuka. Ini alarm serius untuk demokrasi kita.Tentu saja, kita semua sepakat kejahatan siber itu nyata dan harus dilawan. Tapi dalam negara hukum, caranya tetap harus sesuai hukum. Tidak boleh ada jalan pintas. Tidak boleh ada pelanggaran hak atas nama efektivitas.
Seharusnya, kalau memang TNI perlu dilibatkan, perannya cukup mendukung misalnya di bidang teknis atau pengamanan dan tetap di bawah koordinasi polisi. TNI tidak boleh bertindak mengambil alih operasi penangkapan. Penangkapan, penahanan, dan penyelidikan harus tunduk pada aturan KUHAP.
Kalau praktik seperti di Sidrap ini dibiarkan, kita bisa tergelincir membangun negara yang mementingkan "ketertiban" tapi mengorbankan kebebasan dan hak warga. Stabilitas semu, tetapi berbahaya.
Dalam demokrasi, bahkan terhadap pelaku kejahatan pun, negara tetap wajib mematuhi hukum. Tidak ada kejahatan, betapapun serius, yang bisa membenarkan tindakan melanggar hukum.
Keterlibatan TNI dalam keamanan siber memang penting di era sekarang. Tapi tetap harus dipagari hukum yang jelas. Kalau tidak, kita hanya akan mengganti wajah represi lama dengan versi baru yang lebih berbahaya.
Sidrap harus jadi pelajaran. Negara harus segera membuat protokol kerja sama yang rapi antara militer dan sipil untuk menghadapi kejahatan siber. Tapi yang lebih penting negara harus tetap setia pada prinsip dasar konstitusi. Dalam negara hukum, kekuasaan tunduk kepada hukum. Bukan sebaliknya.
Sebab mereka yang melanggar hukum atas nama hukum, pada akhirnya, adalah musuh hukum itu sendiri. (")