Oleh : Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Setiap 1 Mei, Hari Buruh Internasional menjadi momentum reflektif untuk meninjau kembali relasi industrial di Indonesia. Di tengah gegap gempita peringatan tahunan ini, wajah buruh kita masih menyimpan beragam luka struktural, perlindungan hukum yang lemah, ketimpangan relasi kuasa dengan pemberi kerja, hingga disparitas upah yang terlalu jauh antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing (TKA). Negara hadir, namun kerap kali sekadar sebagai penengah yang permisif, bukan pelindung yang aktif.
Beberapa waktu lalu, di Kota Parepare sendiri masih ada buruh yang dilarang menjalankan ibadahnya di jam kerja, Pegawai Rumah Sakit yang dilarang menggunakan Jilbab dan masalah perselisihan upah antara buruh dan pemberi kerja.
Secara normatif, Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang mengatur perlindungan buruh, mulai dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hingga UU Cipta Kerja dan turunannya. Namun, dalam praktik, regulasi tersebut belum sepenuhnya berpihak pada buruh, terutama dalam aspek hubungan kerja, jaminan sosial, dan penyelesaian perselisihan industrial.
Fenomena kontrak kerja jangka pendek yang terus diperpanjang (outsourcing) secara tidak proporsional, bahkan dalam sektor-sektor inti yang seharusnya menggunakan pekerja tetap, menandai lemahnya pengawasan negara. Sistem kerja fleksibel yang diperkenalkan melalui UU Cipta Kerja telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi buruh. Mereka kehilangan rasa aman atas pekerjaan dan jaminan masa depan.
Instrumen seperti Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) pun belum mampu menjamin keadilan substantif. Banyak kasus penyelesaian sengketa berlarut-larut, dan buruh yang lemah secara ekonomi seringkali terpaksa menerima hasil yang tidak adil demi segera kembali memperoleh penghidupan.
Isu yang tak kalah penting adalah kesenjangan upah antara TKA dan tenaga kerja dalam negeri. Di beberapa sektor, terutama pertambangan, energi, dan konstruksi, TKA digaji jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja lokal yang melakukan fungsi serupa. Argumen efisiensi dan transfer teknologi kerap dijadikan dalih, tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak TKA menduduki posisi yang sebenarnya dapat diisi tenaga lokal yang kompeten.
Dalam kerangka hukum, Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing memang mewajibkan perusahaan untuk mentransfer pengetahuan dan keahlian kepada tenaga kerja lokal. Namun, regulasi ini sering hanya menjadi formalitas. Tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat, apalagi sanksi yang efektif untuk pelanggaran.
Lebih dari itu, regulasi ketenagakerjaan kita belum mengatur secara rinci standar pengupahan yang adil dan setara antara TKA dan pekerja lokal dalam posisi yang setara. Ketiadaan prinsip equal pay for equal work dalam hukum nasional membuka ruang diskriminasi yang dilegalkan.
UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)). Negara tidak boleh abai terhadap ketimpangan dan ketidakadilan struktural yang menimpa buruh. Dalam doktrin welfare state yang dianut konstitusi kita, pemerintah berkewajiban melindungi kelompok rentan dari eksploitasi dan ketimpangan relasi ekonomi.
Sayangnya, semangat perlindungan itu justru mengalami erosi akibat pendekatan pembangunan yang terlalu mengedepankan iklim investasi. Produk hukum seperti UU Cipta Kerja lebih berpihak pada kepentingan pasar dibanding hak-hak pekerja. Konstitusi pun seakan dijadikan hiasan normatif, bukan pedoman etis dan hukum yang mengikat.
Pertama, perlu adanya reformulasi kebijakan ketenagakerjaan yang menyeimbangkan kepentingan investasi dengan perlindungan hak buruh. Pembentukan regulasi turunan dari UU Cipta Kerja harus melibatkan partisipasi buruh secara bermakna (meaningful participation), bukan hanya formalitas.
Kedua, prinsip equal pay for equal work perlu ditegaskan dalam peraturan ketenagakerjaan sebagai norma yang mengikat. Pemberi kerja wajib memberikan upah setara kepada pekerja lokal yang memiliki kualifikasi dan beban kerja sama dengan TKA. Pengawasan terhadap implementasi prinsip ini harus dilakukan secara berkala oleh negara.
Ketiga, penguatan pengawasan ketenagakerjaan menjadi mutlak. Negara perlu memberdayakan pengawas tenaga kerja dengan wewenang yang cukup, anggaran yang memadai, dan perlindungan dalam menjalankan tugas. Tanpa pengawasan yang efektif, regulasi hanya akan menjadi narasi kosong.
Keempat, peningkatan kapasitas hukum bagi buruh melalui bantuan hukum struktural juga perlu diperkuat. Negara harus menyediakan skema pendampingan hukum gratis untuk buruh dalam setiap kasus pelanggaran hak, termasuk perselisihan upah dan pemutusan hubungan kerja.
Peringatan Hari Buruh seharusnya tidak berhenti pada simbol perlawanan. Ia harus menjadi pengingat konstitusional bahwa keadilan sosial tidak akan hadir tanpa perlindungan hukum yang tegas terhadap buruh. Jika negara terus membiarkan ketimpangan upah dan lemahnya perlindungan terhadap buruh, maka demokrasi ekonomi yang dijanjikan oleh konstitusi akan semakin menjauh.
Sudah saatnya negara tidak hanya menjadi wasit yang netral, tetapi menjadi pelindung aktif dalam relasi kerja yang timpang ini. Karena sejatinya, martabat buruh adalah cermin keberadaban suatu bangsa.