Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai momen reflektif terhadap perjuangan emansipasi perempuan. Raden Ajeng Kartini tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan gender, tetapi juga merupakan pelopor kesadaran hukum akan hak-hak perempuan pada masanya. Gagasan-gagasannya yang tertuang dalam kumpulan surat Habis Gelap Terbitlah Terang adalah bentuk perlawanan intelektual terhadap sistem patriarki yang membelenggu hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun lebih dari seabad sejak Kartini menulis surat-suratnya, masih banyak persoalan keadilan gender yang belum terselesaikan. Kekerasan seksual, diskriminasi hukum, hingga ketimpangan akses terhadap keadilan, masih menjadi persoalan yang nyata di hadapan hukum Indonesia. Dalam konteks ini, peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi ruang kritik terhadap sistem hukum yang belum sepenuhnya berpihak pada perempuan sebagai subjek hukum yang otonom dan berdaulat atas tubuh serta masa depannya.
Kartini dan Kesadaran Hukum Perempuan
Kartini bukanlah sarjana hukum, namun pemikiran-pemikirannya merepresentasikan kesadaran hukum yang melampaui zamannya. Ia menulis tentang ketidakadilan dalam sistem perkawinan, ketimpangan akses pendidikan, hingga subordinasi perempuan dalam ranah domestik dan sosial. Kartini telah menyadari bahwa kebebasan perempuan tidak dapat tercapai tanpa perubahan struktural, termasuk perubahan dalam sistem hukum dan budaya yang mendukung ketimpangan tersebut.
Kartini menulis: “Kami tidak menghendaki perempuan untuk menjadi saingan laki-laki, tetapi menjadi manusia yang bebas, memiliki kehendak sendiri, tahu akan hak dan kewajibannya.” Pernyataan ini menjadi relevan hingga hari ini, ketika perempuan masih kerap dihadapkan pada sistem hukum yang abai terhadap prinsip kesetaraan substantif.
Salah satu problem utama dalam sistem hukum Indonesia adalah bias gender yang melekat dalam produk hukum maupun aparat penegak hukum. Dalam banyak kasus kekerasan seksual, perempuan korban justru diperlakukan sebagai pihak yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Asas presumption of innocence yang seharusnya melindungi korban, sering kali justru hanya menjadi alat pembela pelaku.
Meskipun telah lahir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tantangan implementasi masih sangat besar. Banyak aparat penegak hukum belum memahami pendekatan berbasis korban (victim-centered approach), yang menuntut empati, perlindungan, dan penghormatan terhadap martabat korban selama proses hukum. Dalam praktiknya, perempuan masih menghadapi reviktimisasi di ruang-ruang pemeriksaan, pengadilan, bahkan di media massa.
Di sisi lain, hukum acara pidana Indonesia masih minim dalam memberikan perlindungan kepada korban kejahatan seksual. Perlindungan saksi dan korban lebih banyak diatur dalam Undang-Undang LPSK, yang prosedurnya kerap kali berbelit dan menunda proses keadilan.
Kekerasan seksual tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia tumbuh dalam masyarakat yang permisif terhadap kekuasaan laki-laki atas tubuh perempuan. Relasi kuasa yang timpang, baik dalam rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, bahkan dalam organisasi keagamaan dan politik, menjadi lahan subur bagi kejahatan seksual yang kerap kali dibungkam atas nama nama baik, kepentingan lembaga, atau hierarki sosial.
Lebih menyedihkan, masih banyak perempuan yang tidak berani melapor karena takut dikucilkan, tidak dipercaya, atau bahkan diintimidasi. Dalam banyak kasus, pelaku memiliki posisi yang lebih tinggi dan akses terhadap kekuasaan, sementara korban justru dikriminalisasi.
Kartini sendiri mengalami dan menyaksikan bagaimana sistem budaya menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara. Ia menggugat kawin paksa, poligami, dan budaya diam yang dipaksakan kepada perempuan. Dalam konteks kekerasan seksual hari ini, budaya diam itu masih hidup dalam bentuk yang lebih kompleks.
Konstitusi Indonesia menjamin perlindungan terhadap setiap warga negara, termasuk hak atas rasa aman, hak untuk bebas dari kekerasan, dan hak untuk mendapatkan keadilan. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya."
Namun, realisasi dari hak konstitusional ini masih jauh dari harapan, terutama bagi perempuan korban kekerasan seksual. Negara, melalui aparaturnya, kerap kali gagal menjalankan mandat konstitusi secara efektif. Penundaan penyusunan aturan turunan UU TPKS, terbatasnya shelter dan layanan psikologis, minimnya pendidikan hukum berbasis kesetaraan gender di kalangan aparat, adalah bentuk-bentuk kelalaian negara.
Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak hanya berarti pemidanaan pelaku, tetapi juga pemulihan korban, penghapusan stigma, serta perubahan budaya hukum yang berpihak pada kelompok rentan.
Sebagai akademisi hukum, saya percaya bahwa perubahan paradigma hukum harus dimulai dari ruang-ruang pendidikan. Mahasiswa hukum perlu diajak untuk tidak hanya memahami hukum secara tekstual, tetapi juga kontekstual yakni memahami bagaimana hukum bekerja dalam realitas sosial yang sarat ketimpangan.
Pendidikan hukum yang berbasis gender, yang mengintegrasikan perspektif feminis, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, harus menjadi bagian dari kurikulum inti. Tanpa pemahaman ini, lulusan hukum akan menjadi bagian dari sistem yang memperkuat ketidakadilan.
Peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan keadilan gender belum selesai. Dalam dunia hukum, semangat Kartini seharusnya hidup dalam setiap upaya membongkar bias struktural, menghapus kekerasan berbasis gender, dan membangun sistem hukum yang adil dan humanis.
Perempuan tidak butuh perlindungan semu, tetapi jaminan atas hak dan martabatnya sebagai manusia. Dalam kata lain, hukum harus menjadi alat pembebasan, bukan penindasan.
Kartini telah menyalakan lilin kecil dalam gelapnya ketidakadilan. Tugas kita hari ini adalah menjaga cahaya itu tetap menyala, dengan membangun sistem hukum yang berpihak pada mereka yang paling rentan dan perempuan adalah salah satunya.