Oleh Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Nama Ridwan Kamil kembali menjadi buah bibir, bukan karena kinerja atau kiprah politiknya, melainkan karena pusaran isu pribadi yang melibatkan seorang perempuan bernama Lisa Marisa. Dugaan perselingkuhan itu mencuat di berbagai platform dari media massa hingga linimasa media sosialdan kini berkembang menjadi tuntutan publik agar aparat penegak hukum turun tangan.
Di tengah derasnya opini publik, muncul dorongan agar kasus ini diproses menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Tuduhannya tidak main-main: ada dugaan relasi kuasa, tekanan psikologis, hingga eksploitasi. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menanyakan satu hal penting: kapan peristiwa itu terjadi?
Dalam hukum pidana, waktu terjadinya tindak pidana disebut tempus delicti. Jika benar kejadian itu berlangsung pada Mei atau Juni tahun 2021 sebelum UU TPKS diundangkan pada Mei tahun 2022, maka secara hukum, UU tersebut tidak dapat digunakan untuk menjerat Ridwan Kamil. Ini bukan soal memilih membela siapa, melainkan soal asas legalitas: seseorang hanya bisa dipidana berdasarkan hukum yang berlaku saat peristiwa itu terjadi.
Prinsip ini sangat fundamental dalam sistem hukum ,khususnya hukun pidana. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dan diperkuat oleh Pasal 4 UU TPKS, yang menyatakan bahwa undang-undang ini tidak berlaku surut. Artinya, meskipun UU TPKS membawa angin segar dalam perlindungan korban kekerasan seksual, ia tidak bisa diterapkan secara retroaktif.
Lantas, apakah pintu hukum tertutup?
Tidak sepenuhnya. Jika benar dalam relasi tersebut terjadi pemaksaan atau penyalahgunaan jabatan, ada kemungkinan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP lama. Misalnya, Pasal 294 KUHP tentang pencabulan oleh orang yang berkuasa atas korban, atau Pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan. Namun, perlu dicatat bahwa kedua pasal ini mensyaratkan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan secara nyata, sesuatu yang sering kali sulit dibuktikan, terutama bila hubungan yang terjalin tampak seperti berlangsung atas dasar “suka sama suka”.
Pasal lain yang bisa dipertimbangkan adalah Pasal 284 KUHP tentang perzinahan. Tapi ini adalah delik aduan artinya hanya pasangan sah yang bisa melaporkan. Dalam hal ini, istri sah Ridwan Kamil adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak untuk membawa kasus ini ke ranah pidana.
Bagaimana dengan tes DNA?
Isu lain yang muncul adalah desakan agar dilakukan tes DNA untuk membuktikan apakah anak yang dilahirkan Lisa berasal dari Ridwan Kamil. Secara hukum, tes DNA adalah alat bukti sah, baik dalam perkara perdata maupun pidana.
Namun, dalam konteks ini, tes DNA lebih kuat relevansinya dalam ranah perdata—misalnya untuk penetapan status anak, gugatan pengakuan anak, atau tuntutan nafkah. Dalam perkara pidana, tes DNA hanya menjadi pendukung pembuktian jika memang ada tindak pidana yang dapat diterapkan. Jika tidak, maka hasil tes DNA semata hanya membuktikan fakta biologis bukan bukti kekerasan, paksaan, atau pelanggaran hukum. Ini menunjukkan satu hal penting: tes DNA tidak bisa berdiri sendiri sebagai dasar untuk menjerat pidana, apalagi jika undang-undang yang dimaksud belum berlaku saat peristiwa terjadi.
Kasus Ridwan Kamil ini menjadi contoh nyata bagaimana hukum sering kali datang terlambat dibanding dinamika sosial. UU TPKS adalah kemajuan besar dalam perlindungan korban, tapi ia hadir setelah banyak peristiwa berlalu. Hukum memang penting, tapi ia bekerja dengan batasan-batasan yang ketat, termasuk soal waktu dan aturan mainnya.
Namun demikian, keterbatasan hukum tidak berarti kasus ini menjadi tak berarti. Ada ruang lain yang tetap bisa ditempuh: jalur etik, perdata, bahkan tekanan sosial yang sehat. Apalagi jika pelaku adalah pejabat publik atau aparatur sipil negara. Di sana, integritas dan tanggung jawab moral bisa dan harus dipertanyakan. PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, misalnya, memungkinkan penjatuhan sanksi atas pelanggaran moral meski tak ada proses pidana.
Pada akhirnya, kita semua diingatkan bahwa hukum hanya bisa adil jika ia datang tepat waktu. Bila tidak, masyarakat dan institusi tetap punya ruang untuk menegakkan kebenaran melalui etika, nilai, dan keberanian bersuara.
(Penulis adalah Advokat dan Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare , Aktif meneliti dan melakukan pendampingan isu kekerasan seksual serta regulasi perlindungan perempuan dan anak).