Oleh: Dr. Muhammad Iqbal, S.H., M.Psi., M.H., adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar.
Aktif berbicara di berbagai forum pengabdian masyarakat tentang advokasi hukum kritis dan pendidikan kritis, dan menulis tentang masalah perlindungan profesi guru dan reformasi hukum pendidikan.
Profesi guru adalah tugas moral dan kewajiban peradaban. Masa depan negara berada di tangan guru. Namun, secara paradoks, profesi mulia ini telah mengalami tekanan dalam beberapa tahun terakhir. Dilema besar dihadapi guru: menjalankan tugas pendidikan secara penuh, termasuk tugas mendisiplinkan dan membentuk karakter, atau bermain aman untuk menghindari pelanggaran hukum. Sebaliknya, karena takut dikriminalisasi, banyak guru akhirnya memilih untuk bersikap pasif. Karena pendidiknya takut, generasi yang tidak terdidik lahir.
Sebagian besar interpretasi yang berbeda dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) menyebabkan fenomena ini. Di satu sisi, UU Perlindungan Anak membatasi kekerasan apa pun terhadap anak, termasuk kekerasan fisik atau psikis.
Sebaliknya, UU Sisdiknas menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan individu yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, disiplin, dan bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan ini, proses pembinaan, koreksi, bahkan sanksi pedagogis diperlukan.
Namun, ketika tindakan mendidik, seperti menegur dengan keras, menghukum lari, atau memanggil orang tua, dianggap sebagai "kekerasan verbal" atau "pelecehan psikis", perbedaan antara mendidik dan melanggar hukum menjadi tidak jelas. Banyak pendidik akhirnya dilaporkan ke polisi, diperiksa, atau bahkan dikenakan sanksi administratif atau pidana hanya karena menjalankan tugas pendidik mereka.
Guru yang Terkena Tekanan Hukum
Kriminalisasi guru telah terjadi di banyak tempat. Sekarang tampaknya masyarakat kita mulai melupakan pendidikan sebagai tindakan moral yang kompleks, bukan sekadar hubungan antara "pelaku" dan "korban".
Sebagai gambaran, berikut adalah beberapa kasus aktual yang menunjukkan bahwa guru dikriminalisasi karena pendisiplinan siswa:
Kasus Supriyani, SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (2024). Supriyani, seorang guru honorer dengan pengalaman lebih dari 16 tahun, dilaporkan oleh orang tua siswa yang merupakan anggota kepolisian atas tuduhan penganiayaan terhadap anaknya.
Kasus Maya, SMPN 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan (2024). Maya menghadapi proses hukum setelah menegur siswa yang terlibat dalam insiden menyiram air pel di kelas. Setelah menegur dan memberikan sanksi ringan, orang tua siswa yang merupakan anggota kepolisian melaporkan Maya atas tuduhan penganiayaan.
Kasus Mubazir, SMAN 2 Sinjai Selatan, Sulawesi Selatan (2024). Mubazir, seorang guru honorer, dipenjara setelah orang tua siswa melaporkannya atas tuduhan kekerasan. Padahal, hasil visum menunjukkan tidak ada luka pada siswa tersebut.
Kasus Marsono, Guru Olahraga SD di Wonosobo, Jawa Tengah (2024). Marsono dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa atas tuduhan kekerasan setelah mencoba melerai siswa yang berebut bola saat kegiatan olahraga.
Kasus Meilisya Ramadhani, Guru Honorer SMPN 1 Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara (2024). Meilisya Ramadhani, seorang guru honorer, dilaporkan ke polisi atas tuduhan pemalsuan setelah mengungkap dugaan kecurangan dalam seleksi PPPK Langkat 2023.
Kasus Zaharman, Guru Olahraga SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu (2024). Zaharman mengalami kebutaan pada mata kanannya setelah diserang oleh orang tua siswa menggunakan ketapel. Insiden ini terjadi setelah Zaharman menegur siswa yang merokok di kantin sekolah dan memberikan hukuman disiplin. Orang tua siswa tidak terima atas tindakan tersebut dan melakukan penyerangan yang menyebabkan cedera serius pada Zaharman.
Hal yang ironis, tindakan guru tidak selalu dapat dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga atau tindak kriminal lainnya dalam konteks pendidikan. Sebaliknya, pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak, seperti Pasal 76C dan 80, menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak dan diancam pidana penjara hingga 3 tahun 6 bulan.
Ketidakjelasan Kebijakan Pendidikan
Problem utama dengan masalah ini adalah regulasi yang tidak jelas dan kurangnya perlindungan hukum terhadap profesi guru. Memang, hak guru untuk mendidik, menegakkan disiplin, dan mendapat perlindungan hukum disebutkan dalam UU Sisdiknas. Namun, implementasinya kurang baik.
Tidak ada peraturan nasional yang membedakan secara tegas sanksi edukatif dari kekerasan. Akibatnya, dalam konflik pendidikan antara orang tua, anak, dan sekolah, guru adalah pihak yang paling rentan.
Negara mengabaikan fakta bahwa pendidikan bukan semata-mata proses pertukaran pengetahuan tetapi pembentukan karakter. Dalam tradisi pendidikan klasik, ini bahkan melibatkan disiplin keras dan proses "mujahadah" atau perjuangan batin.
Misalnya, di sistem pesantren, siswa tidak hanya diajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga adab, dan guru memiliki otoritas moral yang ketat untuk menjaga ini. Namun, dalam sistem pendidikan formal saat ini, tekanan legalistik dan komersialisasi pendidikan terus melemahkan otoritas moral guru.
Orang Tua yang Mudah Melapor
Situasi diperparah oleh beberapa orang tua yang percaya bahwa anak-anak mereka selalu benar dan marah pada guru ketika terjadi perselisihan kecil. Tanpa mengimbangi tanggung jawab, budaya permisif ini memperkuat "hak anak". Hanya karena anaknya diminta berdiri di depan kelas selama lima belas menit, orang tua melaporkan guru ke polisi. Guru tidak hanya dipermalukan, tetapi reputasinya dihancurkan di depan murid dan masyarakat.
Pendidikan akan kehilangan esensinya jika pola ini terus berlanjut. Guru tidak akan mengajar nilai, mereka hanya akan menyampaikan kurikulum. Anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang tidak disiplin, tidak terbiasa dikritik, dan tidak tahan ditegur.
Sebenarnya, bukan hanya guru yang mengalami kerugian, tetapi juga masa depan negara ini.
Perlindungan Hukum Asimetris
Meskipun undang-undang Perlindungan Anak sangat penting untuk menghentikan kekerasan terhadap anak, itu tidak boleh digunakan secara serampangan terhadap profesi guru. Karena itu, hukum harus diubah dan diyakinkan bahwa pendidikan tidak dapat disamakan dengan kekerasan.
Bahkan dari sudut pandang hukum pidana, niat (mens rea) dan tujuan tindakan sangat penting untuk membedakan pendidikan dari pelecehan.
Lembaga seperti Komite Perlindungan Anak harus mampu bersikap proporsional.
Perlindungan anak tidak boleh dimaknai secara membabi buta sehingga menghalangi guru dari wewenang mendidik. Tidak jarang, guru malah menjadi korban pembiaran sistem. Akibatnya, undang-undang harus memberikan keadilan dan keseimbangan, memastikan bahwa anak dilindungi dan guru dihormati.
Menuju Jalan Keseimbangan: Restorasi Etika, Pendidikan, dan Perbaikan
Ketidaksesuaian ini harus diperbaiki oleh negara. Pertama, UU Sisdiknas dan UU Perlindungan Anak harus diubah untuk memasukkan klausul yang melindungi guru dalam konteks pendidikan. Kedua, Kemendikbudristek harus menerbitkan standar sanksi pendidikan agar semua pihak guru, siswa, dan orang tua memiliki acuan yang adil dan jelas.
Ketiga, orang tua dan guru harus diwajibkan untuk dilatih tentang etika dan hukum pendidikan agar pendidikan tidak ditafsirkan secara salah. Dan keempat, pendidikan karakter siswa harus diperkuat dengan memberi ruang kepada guru untuk menjadi teladan dan penegak nilai daripada hanya fasilitator.
Pendidikan bukan tempat tanpa konflik; sebaliknya, itu adalah tempat di mana orang belajar tentang nilai dan tanggung jawab mereka sendiri. Pendidik harus memiliki kebebasan yang proporsional untuk mengajar dan memberikan sanksi yang membangun karakter dalam lingkungan seperti itu.
Jika guru terus dihantui oleh kriminalisasi, etika negara akan hancur. Kita tidak dapat mengantisipasi lahirnya generasi emas sebagai cita-cita strategis Indonesia untuk menciptakan sumber daya manusia unggul, berdaya saing global, dan berakhlak mulia pada tahun 2045 jika undang-undang yang tidak memahami konteks terus membelenggu para pendidik. (*)