Mendidik dengan Hati: Antara Empati, Etika, dan Humanisme dalam Pendidikan

  • Bagikan

Oleh: Dr. Muhammad Iqbal, S.H., M.Psi.,M.H.

 Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar

Dunia pendidikan telah mengalami perubahan besar sebagai akibat dari era digitalisasi. Teknologi sebagai alat bantu, akses informasi tanpa batas, dan ruang belajar yang tak lagi terbatas oleh dinding kelas semuanya telah mengubah dunia pendidikan.

Namun, ada paradoks yang mengkhawatirkan di balik kemajuan ini, yaitu pendidikan yang semakin kehilangan sentuhan kemanusiaan. Di tengah semua kemudahan digital, proses pendidikan justru menjadi lebih mekanis, teknokratis, dan tidak empati.

Banyak orang tua dan pendidik terjebak dalam rutinitas sistem, menjadikan siswa sekadar objek untuk mencapai tujuan dan nilai. Tidak ada diskusi yang terjadi, aturan tidak dipahami, dan prestasi diukur dengan angka. Pendidikan berubah menjadi proses mekanis tanpa mempertimbangkan emosi dan kebutuhan batin anak didik.

Dengan melihat fenomena ini, kita harus berpikir secara mendalam tentang apakah kita benar-benar mengajar atau hanya mengajar orang agar patuh pada sistem.

Pendidikan sejati seharusnya lebih dari sekadar pendidikan; itu adalah proses yang membangun empati, membentuk karakter, dan memanusiakan orang. Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara, menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti.

Dia mengatakan, "Dengan adanya budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri." Dalam garis besarnya, itulah tujuan dan tujuan pendidikan karena inilah manusia beradab. Pendidikan yang berorientasi pada empati dan etika menuntut partisipasi penuh dalam proses pembelajaran.

"Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu", kata Ki Hajar Dewantara. Pernyataan ini menekankan bahwa pendidik berfungsi sebagai pembimbing yang memahami dan menghargai sifat unik setiap siswa daripada sebagai pengendali yang memaksakan pilihan mereka.

Dalam situasi seperti ini, manusia harus menjadi inti dari pendidikan, yang harus menggabungkan prinsip-prinsip humanisme. Sistem pendidikan yang mendukung kodrat alam anak-anak agar mereka dapat mengembangkan hidup lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri dikenal sebagai "Among System" oleh Ki Hajar Dewantara. Sistem ini menekankan bahwa siswa harus memiliki kebebasan dan tanggung jawab selama proses belajar, dan bahwa pendidik berfungsi sebagai penasihat dan bukan pemaksaan.

Namun, dalam praktiknya, pendidikan seringkali diberikan dengan cara yang mekanis dan mengabaikan aspek emosional dan moral. Hal ini dapat menyebabkan peserta didik merasa terasing dan kehilangan makna dalam proses belajar. Oleh karena itu, pendidik harus mengambil pendekatan yang humanis, memahami kebutuhan individu, dan membangun hubungan yang signifikan dengan siswa mereka.

Selain itu, pendidikan yang berfokus pada humanisme dan etika juga harus mencakup pembentukan nilai-nilai moral dan karakter. "Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja tetapi juga harus mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum," kata Ki Hajar Dewantara.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan harus mengajarkan siswa berpikir kritis dan tanggung jawab sosial agar mereka dapat berkontribusi positif kepada masyarakat.

Dalam era digitalisasi, masalah pendidikan semakin sulit untuk diselesaikan. Teknologi dapat membantu belajar, tetapi jangan salah gunakan. Akibatnya, sangat penting bagi pendidik untuk mempertahankan prinsip empati, etika, dan humanisme saat menggunakan teknologi pendidikan.

Sebagai kesimpulan, pendidikan yang mendidik dengan hati adalah jenis pendidikan yang menempatkan etika, humanisme, dan empati sebagai inti dari proses belajar. Dengan menggunakan pendekatan ini, pendidikan dapat membentuk siswa yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan memiliki kemampuan untuk berkontribusi secara positif dalam masyarakat.

Tentang Penulis:

Dr. Muhammad Iqbal, S.H., M.Psi., M.H. adalah dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia. Pemerhati pendidikan, aktif sebagai narasumber parenting, pendidikan dan penguatan karakter dalam berbagai forum pengabdian masyarakat berbasis kolaboratif dan advokasi pendidikan kritis. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version