Mendorong Revolusi Pembelajaran: Keadilan Gender di Persimpangan Teknologi dan Pendidikan

  • Bagikan

Oleh Sriyanti Ambar, SKM.,M.Kes Kepala Bidang Kesetaraan Gender DPPPA Kota Parepare/Dosen Prodi Administrasi Kesehatan STIKES Fatima Kota Parepare

Kemajuan teknologi telah mengubah wajah pendidikan secara dramatis. Kecerdasan buatan (AI) dan digitalisasi membuka pintu baru bagi proses belajar-mengajar yang lebih interaktif, personal, dan inklusif. Namun, di tengah revolusi pembelajaran ini, keadilan gender menjadi isu krusial yang tidak boleh diabaikan.

Transformasi pendidikan yang berkelanjutan harus menjamin akses dan partisipasi setara bagi semua, terutama perempuan yang sering kali menghadapi hambatan ganda dalam lingkungan digital.

Teknologi seperti AI, ChatGPT, dan Gemini telah menjadi pendamping belajar yang revolusioner, memudahkan akses informasi dan mempercepat penguasaan materi. Mahasiswa dapat dengan mudah mengeksplorasi topik, merumuskan ide, dan menyusun tugas secara efisien.

Namun, apakah semua individu mendapat manfaat yang sama? Jawabannya belum tentu. Ketimpangan digital masih menjadi hambatan besar, terutama bagi perempuan di daerah tertinggal dan kelompok rentan. Beban domestik dan sosial yang masih melekat pada perempuan seringkali menghalangi mereka untuk mengoptimalkan teknologi pembelajaran.

Revolusi pembelajaran digital harus menjawab persoalan ketimpangan ini dengan desain yang inklusif dan berperspektif gender. Artinya, tidak cukup hanya menyediakan perangkat dan jaringan internet, tetapi juga memberdayakan perempuan dengan pelatihan literasi digital dan keterampilan teknologi. Partisipasi perempuan dalam pengembangan kebijakan dan regulasi teknologi pendidikan menjadi kunci agar solusi yang dihasilkan benar-benar responsif terhadap kebutuhan mereka.

Lebih jauh lagi, AI memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan oleh semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali, termasuk para penyandang disabilitas. Dengan kemampuan AI untuk menyesuaikan dan mengadaptasi metode pembelajaran, teknologi ini bisa memberikan akses pendidikan yang lebih mudah dan inklusif bagi difabel.

Misalnya, siswa tunanetra dapat menggunakan aplikasi berbasis AI yang mengubah teks menjadi suara (text-to-speech), sehingga mereka dapat mengakses buku dan materi pelajaran secara mandiri. Sementara itu, bagi siswa dengan gangguan pendengaran, AI dapat menyediakan subtitle otomatis atau terjemahan bahasa isyarat secara real-time melalui kamera dan perangkat lunak khusus.

Contoh lainnya adalah teknologi pengenalan suara yang membantu siswa dengan keterbatasan motorik mengetik dan berinteraksi dengan perangkat digital tanpa harus menggunakan keyboard konvensional.

Inklusivitas seperti ini menunjukkan bahwa AI bukan hanya alat bantu belajar, tapi juga sarana pemberdayaan yang merangkul seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan yang didukung AI dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kesenjangan sosial dan fisik, membuka peluang pendidikan yang lebih adil dan setara.

Tidak kalah penting adalah aspek bias gender yang dapat terbawa dalam algoritma AI. Karena data pelatihan AI diambil dari sumber yang sudah mengandung stereotip gender, tanpa pengawasan yang ketat, AI berpotensi mereproduksi dan memperkuat diskriminasi tersebut.

Oleh sebab itu, pengembangan teknologi harus melibatkan kelompok perempuan dan ahli gender untuk memastikan sistem AI yang adil dan bebas bias.

Pendidikan digital yang adil juga harus mampu mengakomodasi keberagaman peran perempuan. Misalnya, AI dapat membantu menyediakan materi belajar fleksibel yang dapat diakses kapan saja, sehingga perempuan yang juga menjalankan tanggung jawab rumah tangga bisa tetap mengembangkan diri tanpa harus meninggalkan kewajibannya.

Hal ini menjadikan AI bukan hanya sebagai alat bantu belajar, tetapi sebagai katalisator pemberdayaan perempuan.

Untuk mewujudkan revolusi pembelajaran yang berkeadilan gender, beberapa langkah strategis perlu diambil. Pertama, pemerintah dan institusi pendidikan harus memprioritaskan pemerataan akses teknologi di daerah-daerah yang tertinggal. Kedua, pelatihan literasi digital bagi perempuan harus digalakkan secara masif dan berkelanjutan, tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga sebagai pengembang dan pengambil kebijakan teknologi pendidikan.

Ketiga, regulasi dan kode etik penggunaan AI harus dirancang dengan perspektif gender yang kuat, menghindari diskriminasi dan memastikan integritas akademik.

Revolusi pembelajaran yang berkeadilan gender tidak hanya berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan, tetapi juga memperkuat pembangunan sumber daya manusia yang inklusif dan berkelanjutan. Pendidikan yang mampu mengangkat perempuan dan kelompok rentan ke panggung yang setara akan menghasilkan tenaga kerja yang lebih kompeten, kreatif, dan inovatif. Pada akhirnya, ini akan mempercepat kemajuan sosial dan ekonomi secara menyeluruh.

Keadilan gender dalam pendidikan digital bukan sekadar soal akses, melainkan soal pemberdayaan dan pengakuan. Teknologi adalah peluang besar, tetapi juga tantangan yang harus dihadapi dengan kebijakan yang matang dan partisipasi luas. Dengan komitmen bersama, kita dapat mendorong revolusi pembelajaran yang tidak meninggalkan siapapun, khususnya perempuan dan difabel yang selama ini berjuang di persimpangan teknologi dan pendidikan.

Transformasi pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Maka dari itu, mari kita pastikan bahwa revolusi pembelajaran yang digerakkan oleh teknologi cerdas ini berjalan seiring dengan semangat keadilan dan inklusivitas. Dengan begitu, teknologi dan pendidikan menjadi dua pilar utama yang mengangkat kualitas hidup seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata. (*)

  • Bagikan