Penegakan Hukum di Indonesia: Antara Pernyataan Konstitusi dan Derita Keadilan

  • Bagikan

Oleh: Dr Muhammad Iqbal SH  MPsi, MH                                                                                            

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar)

Di Indonesia, penegakan hukum selalu menjadi topik hangat dalam wacana publik, tetapi sayangnya lebih sering dalam konteks kekecewaan daripada kebanggaan. Konstitusi Indonesia, atau Undang-Undang Dasar 1945, mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pada prinsip-prinsip supremasi hukum, keadilan, dan kesetaraan. Tujuan negara adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia, menjaga ketertiban masyarakat, dan meningkatkan keadilan. Dengan demikian, tujuan negara adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun, dalam kenyataannya, hukum seringkali berfungsi sebagai alat kekuasaan daripada alat keadilan.

Sebagai akademisi dan praktisi hukum, saya melihat secara langsung perbedaan yang luas antara praktik hukum dan teori. Menurut buku teks hukum, hukum harus ditegakkan secara adil, merata, dan tanpa diskriminasi. Namun, faktanya adalah bahwa hukum sering digunakan untuk melindungi mereka yang berkuasa dan mengkriminalisasi mereka yang lebih lemah. Fenomena ini menunjukkan bahwa penegakan hukum kita sedang dalam krisis.

Hukum: Antara Kepentingan Praktis dan Idealisme

Keadilan, kepastian, dan kemanfaatan adalah tiga tujuan utama hukum secara konseptual. Prinsip-prinsip ini seharusnya menjadi dasar untuk pembentukan dan penegakan hukum di negara hukum. Namun, masalah utama di Indonesia bukan kekurangan undang-undang, tetapi ketimpangan dalam pelaksanaannya.

Ada banyak undang-undang yang dibuat hanya untuk memenuhi aspek formal tanpa niat untuk diterapkan. Regulasi seringkali dilaksanakan dengan cara yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Seolah-olah hukum hanya membantu masyarakat kecil, sementara orang-orang kaya dapat "membeli" keadilan.

Kekurangan Struktural dan Budaya dalam Penegakan Hukum

Dua akar utama masalah penegakan hukum Indonesia adalah masalah struktural dan budaya hukum yang lemah.

Pertama, karena strukturnya, lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan tetap rentan terhadap gangguan politik dan transaksi keuangan. Seringkali demi keuntungan jangka pendek, integritas dan independensi aparat penegak hukum dipertaruhkan. Banyak kasus besar, seperti mega korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan lingkungan, hanya berakhir dengan hukuman ringan atau tidak ada sama sekali.

Kedua, hukum masyarakat Indonesia belum berkembang dengan cepat. Banyak warga tidak menyadari hak-hak hukumnya, tidak percaya pada sistem peradilan, atau bahkan takut berurusan dengan sistem peradilan karena stigma negatif yang melekat pada mereka. Banyak kali, masyarakat lebih suka menyelesaikan konflik secara informal daripada melakukan proses hukum yang mahal dan rumit.

Ketika Keadilan Bermetamorfosis Menjadi Privilege

Keadilan seharusnya universal dan tersedia untuk siapa saja tanpa pengecualian. Namun, keadilan seringkali bersifat eksklusif. Mereka yang berkuasa secara ekonomi dan politik memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan akses ke jasa hukum yang paling efektif, memanipulasi proses, atau bahkan mempengaruhi keputusan.

Sebaliknya, kelompok masyarakat miskin yang tidak memahami hukum, tidak memiliki pendamping hukum, dan tidak mampu membayar biaya perkara menghadapi perlakuan hukum yang tidak adil. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita belum mencapai keadilan substantif.

Jalan Keluar: Dari Reformasi Simbolik ke Reformasi Substantif

Penyelesaian atas persoalan ini tidak bisa lagi bersifat tambal sulam. Dibutuhkan reformasi menyeluruh dan berani yang menyentuh tiga area utama:

  1. Reformasi institusi penegak hukum. Proses rekrutmen harus berbasis merit, transparansi, dan akuntabilitas. Sistem pengawasan internal dan eksternal perlu diperkuat dengan melibatkan masyarakat sipil secara aktif. Independensi aparat harus dijamin dengan regulasi dan sistem karier yang bebas dari pengaruh politik.
  2. Pendidikan hukum masyarakat. Literasi hukum harus ditanamkan sejak dini, tidak hanya di sekolah hukum tetapi dalam seluruh jenjang pendidikan. Pemerintah bersama organisasi masyarakat sipil harus aktif menyosialisasikan hak-hak hukum masyarakat.
  3. Pemberdayaan masyarakat sipil dan media. Jurnalis investigatif dan lembaga bantuan hukum harus diberikan ruang dan perlindungan hukum. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi proses hukum perlu difasilitasi, bukan dihambat.

Penutup: Mengembalikan Martabat Hukum

Kita tidak bisa menunggu perubahan terjadi dari atas. Hukum tidak akan menjadi alat keadilan jika masyarakat membiarkannya dikendalikan oleh kepentingan sempit. Diperlukan tekanan publik, keberanian moral dari para pemimpin hukum, dan konsistensi dari dunia akademik untuk terus mengawal reformasi hukum secara substantif.

Penegakan hukum bukan sekadar prosedur legal, tetapi menyangkut nasib banyak orang.                     Di sinilah seharusnya negara hadir bukan hanya dengan aturan, tapi dengan keberpihakan pada kebenaran. Jika hukum tidak mampu lagi memberikan keadilan, maka ia hanya menjadi alat kekuasaan. Dan ketika itu terjadi, maka negara hukum telah gagal menjalankan mandat konstitusinya.


Tentang Penulis
Dr. Muhammad Iqbal, S.H., M.Psi., M.H., adalah dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar, dengan fokus penelitian pada keadilan sosial, sistem peradilan, dan reformasi hukum. Penulis aktif memberikan edukasi hukum kritis di berbagai forum akademik dan publik.

  • Bagikan