Oleh: Muhammad Iqbal
Dalam kehidupan manusia, hati dan nalar selalu terhubung satu sama lain, saling mempengaruhi, dan membentuk jati diri seseorang.
Jika hati bersih, nalar akan mendorong untuk berpikir jujur dan bertindak benar. Namun, ketika hati dikotori oleh kebencian, dendam, kerakusan, dan kesombongan, daya nalar pun ikut rusak, sehingga ia tidak lagi dapat membedakan yang benar dari yang salah, yang adil dari yang zalim, dan yang jujur dari yang palsu.
Di sinilah krisis besar saat ini terjadi. Bukan hanya krisis finansial atau politik, tetapi juga krisis moral yang berasal dari kerusakan hati.
Kita hidup di masyarakat yang kian maju dalam teknologi, tetapi justru semakin kurang mendengarkan suara moral. Kebohongan diakui, kecurangan dilindungi, dan kebencian dianggap sebagai tindakan berani.
Hati yang Rusak adalah Akar dari Kerusakan Sosial
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seperti yang ditunjukkan oleh sabda ini, hati adalah pusat pengendalian moral manusia. Semua aspek kehidupan terpengaruh ketika hati rusak. Kesombongan, kebohongan, dendam, iri hati, dan kekejaman adalah semua hasil dari hati yang buruk. Dan semua itu akan mengaburkan pemikiran seseorang. Ia akan membela yang salah, membenci yang benar, dan menganggap dirinya benar.
Di dunia pendidikan, kita menyaksikan fenomena guru yang kehilangan keteladanan karena sikapnya yang lembut telah hilang. Dalam politik, para pemimpin memanipulasi data dan narasi untuk mendapatkan kekuasaan.
Masyarakat di media sosial dengan mudah saling mencaci, menyebar hoaks, dan bahkan merasa bangga terlibat dalam penyebaran informasi palsu. Akal kehilangan arah setelah hati tertutup.
Nalar Tak Lagi Berfungsi Saat Nafsu Mengendalikan Segalanya
Nalar manusia bukan sekadar kemampuan logika; itu adalah alat untuk membedakan, menguji, dan memahami realitas. Namun, nalar hanya dapat berfungsi dengan baik jika hati, yang merupakan inti dari emosi, dan niat, tetap murni.
Meskipun demikian, yang terjadi saat ini adalah hal yang sebaliknya. Banyak orang menggunakan akalnya hanya untuk membenarkan nafsu, membela kepentingan kelompok, dan membungkus keburukan dengan alasan kebenaran. Akal tidak lagi mencari keadilan, tetapi hanya mencari pembenaran.
Contoh paling nyata dapat ditemukan dalam diskusi publik yang marak di media. Banyak orang hanya ingin menang sendiri daripada berbicara atau mencapai titik temu. Mereka tidak ingin mendengar, mereka hanya ingin didengar. Mereka tidak berbicara, tetapi mencari cara paling halus untuk menyerang musuh. Ini adalah sifat nalar yang digerakkan oleh hati yang rusak.
Dampak Sosial dari Rusaknya Hati dan Nalar
Peradaban rusak ketika hati dan akal rusak. Bangsa kehilangan arah, masyarakat terpecah, dan kepercayaan institusi merosot. Kita melihat lembaga hukum kehilangan kepercayaan rakyat karena mereka dianggap dapat dibeli. Kita melihat bahwa sistem pendidikan telah kehilangan makna karena fokusnya hanya pada peringkat dan angka. Kita melihat politik yang berfokus pada serangan dan polarisasi daripada visi dan solusi.
Lebih buruk lagi, semua ini dilakukan dengan dukungan publik yang besar. Dengan alasan yang sebenarnya tidak jujur, orang berlomba-lomba membela tokohnya, membenarkan korupsinya, dan memaafkan kesalahannya. Baik hati yang keras maupun akal yang tumpul tidak dapat menerima kritik. Ini adalah bencana moral yang sistemik.
Refleksi untuk Semua Kalangan
Semua orang harus merenungkan: bagaimana keadaan hati kita saat ini? Apakah keadilan masih relevan? Masih benci kebohongan? Anda masih merasa malu ketika Anda melakukan kesalahan? Atau mungkin karena kita telah terbiasa berpura-pura, kita percaya bahwa semua hal dapat diterima jika hasilnya menguntungkan?
Apakah kita sebagai guru masih menggunakan keteladanan untuk mengajarkan nilai? Apakah kita sebagai pemimpin tetap memimpin dengan hati nurani atau hanya dengan kekuatan? Sebagai orang tua, apakah kita terus memberikan contoh yang baik kepada anak-anak kita? Selain itu, sebagai warga,
apakah kita dapat mempertahankan identitas pribadi kita di tengah tekanan sosial dan arus informasi?
Jika kita tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur lagi, hati kita mungkin mengalami masalah. Dan kejujuran, refleksi, dan pertobatan moral adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan hati yang sakit; citra atau retorika tidak dapat menyembuhkannya.
Mengembalikan Kejernihan Hati, Menghidupkan Kembali Nalar
Memperbaiki hati harus menjadi langkah pertama dalam memperbaiki nalar. Pekerjaan ini adalah jalan menuju keikhlasan, dan tidak akan selesai dalam sekejap mata. Kita harus belajar mendengarkan suara hati kita yang lembut daripada teriakan ego kita yang keras. Untuk menang, kita harus membersihkan hati kita dari kebencian, prasangka, dan nafsu.
Hanya dengan hati yang jernih, kita bisa berpikir secara jernih, kita bisa bersikap adil, dan kita bisa menggunakan akal kita untuk membuat kebaikan bersama.
Kesadaran ini harus ditanamkan di rumah, di kelas, di ruang sidang, di kantor, di media, dan di dalam diri kita sendiri. Karena satu hati dapat merusak komunitas. Namun, hati yang bersih dapat menjadi cahaya bagi orang-orang di sekitarnya.
Penutup: Hati adalah Kunci Masa Depan
Sebenarnya, kehancuran peradaban tidak dimulai dari kerusakan ekonomi atau teknologi, tetapi dari kerusakan moral. Ketika hati rusak, daya nalar pun ikut rusak. Dan ketika daya nalar rusak, kezaliman dapat dianggap masuk akal, dan kebenaran tampak aneh.
Karena itu, tanggung jawab kita hari ini bukan hanya memperluas pembicaraan, tetapi juga meningkatkan moralitas. Bukan hanya pintar dalam berbicara, tetapi juga rendah hati dalam mendengarkan. Karena negara yang sehat tidak hanya diukur oleh kekayaan dan kemajuan, tetapi juga dari kejernihan jiwa penduduknya.
Tentang Penulis:
Muhammad Iqbal adalah dosen di fakultas hukum Universitas Muslim Indonesia, penulis reflektif dan pemerhati isu-isu moral, pendidikan, dan sosial keagamaan. Aktif dalam gerakan literasi etis dan pendidikan karakter, ia kerap menyuarakan pentingnya integrasi hati sebagai pondasi berpikir jernih dan bertindak adil di tengah krisis nalar publik. Melalui tulisan ini, ia mengajak pembaca untuk kembali pada kejernihan hati sebagai jalan pemulihan akal sehat dan martabat manusia. (*)