Oleh: Prof. dr. Taruna Ikrar M.Biomed Ph.D
(Anggota Amirull Hajj 2025 / Kepala BPOM RI)
PAREPOS.FAJAR.CO.ID, MADINAH-– Di bawah langit Tanah Haram yang agung, jutaan jiwa berlabuh pada satu cinta: Allah. Mereka datang dengan niat suci, membalut tubuh dengan kain ihram yang putih, dan membiarkan hati hanyut dalam talbiyah yang menggema hingga ke langit.
Namun tidak semua kembali pulang. Tidak semua menyelesaikan rukun itu hingga akhir hayat di tanah air. Ada yang kembali dalam keheningan peti jenazah. Ada yang mengakhiri hidupnya justru di tempat paling mulia. Bukan di pelukan keluarga, tetapi dalam pelukan Tanah Suci.
Indonesia, tahun ini, kembali menjadi negara dengan angka kematian jemaah haji tertinggi di dunia. Angka yang tak hanya menyedihkan—tetapi juga menyentak nurani. Karena di balik statistik itu, tersimpan isak keluarga yang menanti tanpa pelukan, dan doa-doa yang berubah menjadi air mata.
Wafat di Tanah Suci: Antara Takdir dan Tanggung Jawab
Benar adanya, wafat di Tanah Suci adalah impian banyak hamba. Ia kemuliaan. Ia husnul khatimah. Namun ketika jumlahnya begitu besar, dan mayoritas adalah lansia yang membawa beban komorbid, maka ini bukan sekadar takdir—ini adalah panggilan untuk lebih bertanggung jawab.
Ibadah haji bukan hanya perjalanan ruhani. Ia juga perjalanan tubuh yang melelahkan, menguji kekuatan jantung, paru-paru, kaki, bahkan pikiran. Tanpa kesiapan fisik, haji bisa menjadi akhir yang indah—tetapi juga terlalu cepat.
Ya Allah…
Ampunilah kami bila belum cukup menjaga mereka yang Engkau titipkan kepada kami.
Bila kami lebih sibuk menghitung kuota, daripada menyiapkan ketahanan mereka.
Bila kami lalai membekali mereka dengan ilmu dan stamina, hanya karena mereka telah lansia.
Kesehatan: Bukan Sekadar Medis, Tapi Ibadah
Rasulullah Muhammad SAW bersabda:
“Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”
(HR. Muslim)
Ini bukan hanya soal otot dan nafas. Tapi juga tentang kesiapan menjalani ibadah hingga paripurna. Karena Allah mencintai kekuatan yang digunakan untuk-Nya. Kesehatan bukan cuma fasilitas medis—ia adalah syarat kecintaan, jalan menuju mabrur yang utuh.
Persiapan fisik dan mental adalah bagian dari niat suci. Melatih tubuh sebelum berangkat, menjaga stamina selama berhaji, adalah bagian dari ketaatan. Dan setiap ketaatan adalah ibadah.
Tak Semua Pulang, Tapi Semua Punya Hak untuk Dijaga
Mereka berangkat dengan senyum dan salam. Tapi yang kembali hanya nama yang dibacakan di daftar wafat. Hanya foto yang dibingkai duka. Hanya air mata yang jatuh dalam diam.
Berapa banyak anak yang menanti ayahnya pulang membawa kisah Makkah, namun justru menerima jenazah?
Berapa banyak istri yang menyiapkan pelukannya, tapi hanya bisa menabur bunga di nisan?
Sudah saatnya kita menata ulang prioritas. Bahwa haji bukan hanya soal birokrasi, kuota, atau fasilitas. Tapi soal jiwa-jiwa yang titipannya agung di sisi Allah. Mereka berhak untuk disiapkan. Disayangi. Dilindungi. Bukan hanya di tanah suci—tapi sejak langkah pertama persiapan di tanah air.
Doa yang Menjadi Janji
Di sela air mata Tanah Haram, mari kita rendahkan hati:
Bahwa setiap jiwa yang berangkat adalah amanah, bukan sekadar nama di paspor.Bahwa setiap kematian di Tanah Suci adalah pengingat: masih banyak yang harus kita benahi.
Ya Allah…
Muliakan hamba-hamba-Mu yang Engkau panggil di tempat suci-Mu.
Jadikan kematian mereka sebagai syahid, dan bukakan pintu surga tanpa hisab.Dan untuk kami yang ditinggal—sadarkan kami bahwa menjaga mereka bukan sekadar tugas… tapi ibadah yang Kau titipkan.
Bimbing kami agar tak hanya mengantarkan jemaah dengan seremonial,
tapi dengan cinta, kesiapan, dan keikhlasan.
Agar setiap jemaah yang berangkat bukan hanya berniat mabrur,
tetapi pulang dalam keadaan sehat, selamat, dan diridhai-Mu.
Catatan kecil haji 2025 secara umum sudah sangat sukses terima kasih atas kerja tulus semua petugas haji dengan semua stake holder kementerian agama , tulisan ini ditulis dengan air mata yang tak kasat mata—namun terasa di dada.
Sebagai bentuk refleksi dan tangisan hati, agar haji tak hanya menjadi ritual besar…tetapi jalan selamat menuju cinta Allah, dengan tubuh yang kuat, dan jiwa yang siap menyambut panggilan suci. (*)