Korupsi: Musuh Dalam Selimut Negara

  • Bagikan

Oleh Sri Devi Wahyuni
Mahasiswa IAIN Parepare

Korupsi bukanlah kejahatan yang datang dari luar, melainkan kejahatan dari dalam yang merugikan negara dan rakyat secara langsung. Ia datang dari orang-orang yang seharusnya menjaga roda pemerintahan dan melayani masyarakat.

Ketika pejabat, penegak hukum, bahkan lembaga negara justru menjadi pelaku korupsi, negara seakan kehilangan fondasinya. Inilah alasan mengapa korupsi layak disebut musuh dalam selimut—ia menyusup, menikam dari dalam, dan perlahan menghancurkan kepercayaan rakyat.

Korupsi di Indonesia telah mengakar dalam berbagai sektor: politik, birokrasi, penegakan hukum, hingga proyek pembangunan. Praktik suap, penggelapan anggaran, dan nepotisme masih menjadi fenomena yang kerap terjadi hingga hari ini.

Ironisnya, korupsi tidak hanya mencuri uang negara, tapi juga merampas hak masyarakat untuk hidup lebih sejahtera. Dana pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang seharusnya digunakan demi rakyat sering kali “dipotong” oleh tangan-tangan rakus yang tak pernah puas dengan jabatan dan kekuasaan.

Lalu, apakah korupsi ini sudah menjadi budaya atau hanya kebiasaan yang dibiarkan terlalu lama? Jika kita melihat kembali sejarah kolonial, pada masa kerja rodi rakyat dipaksa bekerja tanpa upah. Namun ternyata, dalam kasus pembangunan jalan Anyer–Panarukan sepanjang 1.000 km oleh Daendels, tercatat bahwa dana proyek sebenarnya telah diserahkan lengkap kepada Bupati kala itu—lengkap dengan bukti kwitansi. Pertanyaannya di mana dana itu digunakan?
Mengapa sejarah hanya mencatat penderitaan rakyat, tanpa mengungkap penyalahgunaan dana sejak awal?

Begitu pula saat ini. Banyak kasus korupsi yang terkuak akhir-akhir ini menunjukkan angka kerugian negara yang nyaris menyentuh kuadriliun rupiah—angka yang nyaris tak terbayangkan. Jika dana sebesar itu digunakan untuk rakyat, berapa banyak sekolah bisa dibangun? Berapa rumah sakit diperbaiki? Berapa banyak masyarakat yang bisa terbebas dari kemiskinan? Tapi itu hanya sebatas kata "andaikan".

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa korupsi di negeri ini belum bisa diberantas tuntas. Ia telah mendarah daging—tidak hanya sebagai kejahatan, tetapi sebagai kebiasaan sistemik yang diwariskan sejak zaman penjajahan.
Saya teringat sebuah teori yang cukup terkenal dari Robert Klitgaard.

Ia menyebut bahwa korupsi tumbuh subur ketika terdapat monopoli kekuasaan, adanya diskresi (kebebasan membuat keputusan tanpa kontrol), dan tidak adanya akuntabilitas. Ketika seseorang memiliki kekuasaan besar tanpa pengawasan, maka celah untuk menyalahgunakan wewenang terbuka lebar. Ini masih sangat relevan dengan kondisi kita hari ini.

Sementara itu, menurut sistem politik yang dikemukakan oleh David Easton, pemerintahan yang sehat seharusnya menampung aspirasi masyarakat (input) dan mengubahnya menjadi kebijakan yang berpihak kepada rakyat (output). Tapi bagaimana mungkin itu terjadi jika sistemnya telah dikendalikan oleh para koruptor? Aspirasi rakyat hanya dijadikan formalitas. Yang benar-benar diperjuangkan adalah kepentingan kelompok dan jaringan kekuasaan.

Tidak bisa dipungkiri, berbagai upaya pemberantasan korupsi memang telah dilakukan—lembaga antikorupsi dibentuk, regulasi disusun, kampanye dilakukan. Tapi mengapa korupsi tetap ada? Apakah karena semua itu hanya formalitas semata—mengobati gejala tapi mengabaikan akar? Terlalu banyak energi dihabiskan untuk “menunjukkan keseriusan” melawan korupsi, sementara kompromi kecil masih terjadi dalam rapat, seleksi jabatan, hingga pelayanan publik. Korupsi dibiarkan hidup karena dianggap “tidak seberapa”.

Korupsi pada akhirnya bukan hanya masalah hukum, tapi juga masalah moral dan sistem. Ia mencerminkan kegagalan tata kelola, ketidaktegasan hukum, dan minimnya integritas. Bahkan yang lebih menyedihkan, ketika orang-orang jujur justru disingkirkan karena dianggap “mengganggu arus”, maka yang sedang dibangun bukan negara hukum, melainkan negara yang memusuhi kejujuran.

Bagaimana mungkin negeri ini bersih jika kejujuran dianggap sebagai ancaman? Korupsi bukan cuma soal hukum, tapi juga soal kebiasaan buruk yang dibiarkan terus hidup dalam sistem. Kalau terus-menerus dianggap wajar, maka bukan hanya uang rakyat yang hilang, tapi juga kepercayaan, kejujuran, dan harapan masa depan. Kita tidak bisa berharap Indonesia jadi negara maju kalau yang jujur malah disingkirkan, dan yang curang malah dilindungi.

Sudah saatnya semua pihak—baik pemerintah, lembaga hukum, dan juga masyarakat—berhenti menutup mata. Pemberantasan korupsi tidak boleh lagi sekadar formalitas atau pencitraan. Harus ada tindakan nyata dan konsisten dari atas sampai bawah. Dan bagi kita sebagai rakyat biasa, melawan korupsi bisa dimulai dari hal kecil tidak menyuap, tidak memanfaatkan “jalan pintas” dan berani jujur di mana pun kita berada. Karena kalau bukan kita yang jaga kejujuran, siapa lagi? (*)

Editor: PARE POS
  • Bagikan