Menjadi Ismail di Era Digital: Pendidikan Karakter yang Kita Lupakan

  • Bagikan

Oleh: Dr. Muhammad Iqbal, S.H., M.Psi., M.H., adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

Pemerhati pendidikan, aktif sebagai narasumber parenting, mendukung pendidikan kritis dan pengabdian masyarakat dalam berbagai forum kolaboratif.

Distres terus mengganggu generasi muda di era teknologi modern yang serba cepat. Mereka telah dininabobokan dalam kenyamanan yang semu oleh notifikasi dari media sosial, gaya hidup konsumtif, dan budaya instan. Kisah ribuan tahun lalu tentang seorang anak muda bernama Ismail menawarkan pelajaran paling relevan tentang keberanian, ketaatan, dan kematangan spiritual di tengah gemuruh zaman saat ini.

Nabi Ismail "alaihissalam" bukan hanya tokoh sejarah; ia adalah contoh sempurna dari pendidikan karakter yang saat ini hilang. Ia kuat, lembut, dan taat. Bukan hanya tunduk, tetapi juga sadar bahwa hidup ini adalah untuk memenuhi rencana Ilahi.

Belajar Mendengar dan Memilih Jalan Benar

Dalam QS. As-Saffat: 102, Nabi Ibrahim berkata kepada putranya:

"Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu."

Dan Ismail menjawab:

"Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Ini menunjukkan kematangan karakter Ismail. Ia memperhatikan ayahnya. Ia menyadari bahwa ini tidak biasa. Ia tidak menolak, tidak memberikan alasan, atau melawan. Ia setuju, pasrah, dan sadar. Banyak anak muda saat ini tidak dapat mendengarkan atau menerima teguran. Ismail mengajarkan kepada kita bahwa mendengar adalah langkah pertama menuju karakter.

Taat Tanpa Pamrih, Ikhlas Tanpa Keraguan

Meskipun mudah untuk mengatakan bahwa Anda taat, sangat sulit untuk melakukannya. Ismail menunjukkan kepada kita bahwa ketaatan yang benar datang dari keyakinan dan keyakinan bahwa perintah Allah pasti baik, bukan karena takut atau ingin dipuji. Ia tidak bertanya, "mengapa aku?" atau "mengapa harus sekarang?" Ia hanya menjawab, "Laksanakanlah, wahai ayahku," dengan keikhlasan.

Bayangkan seorang anak muda di zaman sekarang mampu berkata demikian kepada orang tuanya, gurunya, dan Tuhannya. Dunia pendidikan dan keluarga kita sangat aman. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: banyak anak muda menentang prinsip, tidak percaya pada nasihat, dan mudah terpengaruh oleh pendapat publik.

Ismail mengajarkan kepada kita bahwa taat tidak membuat kita lemah; sebaliknya, itu menunjukkan kekuatan jiwa kita.

Menyembelih Ego, Bukan Sekadar Hewan

Kita sering lupa bahwa, dalam konteks Idul Adha, yang biasanya kita rayakan dengan menyembelih kambing dan sapi, yang seharusnya disembelih adalah ego, nafsu, dan ikatan kita dengan dunia. Ismail adalah contoh pemuda yang dapat mengorbankan keegoisan. Ia bersedia mengorbankan segalanya, termasuk kenyamanan hidupnya, dan bahkan dirinya sendiri, untuk mengabdi pada Allah.

Pertanyaan: Apa yang paling kita cintai dan apakah kita sanggup melepaskannya demi Allah adalah pertanyaan yang relevan bagi anak-anak muda zaman ini.

Mungkin bukan kehidupan seperti yang dimiliki Ismail, tetapi waktu yang terbuang di TikTok, rasa egois yang berlebihan, atau kemalasan yang menumpuk di kampus adalah semua faktor yang mungkin.

Relasi Sehat dengan Orang Tua dan Guru

Ismail tidak menunjukkan penolakan. Ini adalah diskusi, bukan perdebatan. Ia mendengar dan dengan bijaksana menanggapi. Ia mengikuti tanpa kehilangan akal sehat. Ini adalah contoh relasi yang sehat antara orang tua dan anak, serta antara siswa dan pendidik. Relasi saat ini dirusak oleh banyak hal, sayangnya, karena egosentris, kehilangan adab, dan suara digital yang lebih berharga daripada nasihat orang terdekat.

Generasi Ismail memiliki kemampuan untuk membedakan nasihat yang bermanfaat dari distraksi yang merugikan. Meskipun ia tidak menutup telinga, ia membuka hati.

Generasi Ismailik: Harapan Masa Depan

Saat sekolah dan kampus menghadapi krisis nilai, kita membutuhkan pendidikan yang menanamkan makna, bukan hanya mengajar materi; kita membutuhkan keteladanan, bukan hanya kurikulum.

Figur Ismail menunjukkan bahwa anak-anak yang dididik dengan nilai, cinta, dan visi spiritual dapat mengembangkan karakter besar.

Mari kita ciptakan generasi Ismailik muda yang sadar diri, tahu tujuan hidupnya, dan tunduk kepada siapa mereka. Generasi yang tidak silau oleh pencitraan, tidak mudah marah, dan tidak takut kehilangan kepopuleran karena kebenaran.

Karena dunia saat ini tidak hanya membutuhkan individu yang cerdas, tetapi juga membutuhkan generasi muda yang berani, sabar, dan bertauhid. (*)

  • Bagikan