OPINI: Dari Laut ke Lubang Tambang, Ketika Suara Adat Tak Lagi Didengar

  • Bagikan

Penulis: Aisya Khairunnisa
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, IAIN Parepare

Diantara birunya laut dan hijaunya gugusan pulau, Raja Ampat berdiri sebagai salah satu surga terakhir di bumi. Namun saat ini surga terakhir itupun sedang digerogoti oleh keputusan yang mengatasnamakan pembangunan: izin tambang di tanah adat.

Dari pengamatan penulis di berbagai sumber terpercaya seperti green peace, menyatakan Raja Ampat adalah sepenggal surga di Timur Indonesia.

Green peace menuturkan, Raja Ampat merupakan gugusan pulau tropis yang memesona, perairan yang kaya dengan kehidupan bawah laut, bentangan karst yang megah, serta tutupan hutan yang rapat dan masih alami membuat Raja Ampat dijuluki "The Last Paradise on Earth". Kawasan di Papua Barat Daya ini bahkan telah menjadi situs warisan dunia global geopark yang diakui UNESCO.

Bagi wisatawan, Raja Ampat merupakan tempat berlibur yang sempurna. Bagi penggiat konservasi, Raja Ampat adalah jantung dari segitiga terumbu karang dan pusat keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautan. Bagi masyarakat setempat, Raja Ampat tak hanya memberikan keindahan alam, tapi juga sumber kehidupan.

Masyarakat setempat atau masyarakat adat raja ampat sudah hidup berdampingan selama ratusan tahun, bukan hanya berdampingan dengan laut akan tetapi ia pun berdampingan dengan hutan dan tanah yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka.

Sistem nilai adat yang mereka tanamkan bukan hanya sekedar tradisi, melainkan filosofi hidup yang memuliakan alam bagaikan seorang ibu. Hukum adat mereka pegang teguh bukan karena paksaan, tetapi karena kesadaran akan harmoni dan keberlanjutan.

Namun beberapa tahun terakhir ini, suara-suara itu nyaris tidak tak didengarkan. Suara itu terbungkam oleh bisingnya deru mesin tambang dan tumpukan dokumen perizinan yang dikeluarkan tanpa adanya musyawarah adat. Proyek ekstraktif ini berbondong-bondong memasuki wilayah sakral, tanpa menghitung biaya sosial dan ekologis yang harus dibayarkan oleh masyarakat setempat.

Dalam pembangunan ini pemerintah berdalih bahwa tambang ialah bagian dari pembangunan yang akan membuka peluang kerja dan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Akan tetapi saat proses pengambilan keputusan masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan. Musyawarah dilaksanakan hanya sebatas formalitas, sosialisasi dibatasi, hingga paksaan persetujuan terhadap kebijakan yang tidak pernah mereka setujui, Ini bukan pembangunan partisipatif melainkan ini ialah pemaksaan terselubung.

Tambang memang menjanjikan, Tapi kerusakan yang ditinggalkan jangka panjang rusaknya terumbu karang, pencemaran air, hancurnya hutan bakau dan hilangnya ruang hidup masyarakat adat. Raja ampat bukan daerah biasa melainkan kawasan konservasi laut kelas dunia, tempat yang diakui UNESCO, dan rumah bagi 1.300 spesies ikan dan ratusan spesies terumbu karang atau sekitar 75%. Menambang di kawasan raja ampat sama saja dengan menukar permata dengan kerikil.

Menolak Diam di Kawasan Tambang

Polemik tambang di raja ampat mengungkap ironi besar dalam praktik pembangunan di indonesia: ketika tanah adat dan kelestarian lingkungan dikorbankan atas nama pertumbuhan ekonomi. Sudah saatnya negara dan pemangku kepentingan membuka mata dan telinga. Masyarakat adat bukan hambatan pembangunan melainkan penjaga warisan ekologis yang tak ternilai.

Jika suara adat terus diabaikan, maka yang runtuh bukan sekedar identitas tetapi juga tentang masa depan. Bukan soal laut yang berubah menjadi lubang tambang tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang harusnya bisa melindungi dan melestarikan.

Gagasan ini bukan sekedar ajakan untuk menghentikan tambang, Tapi juga untuk mengembalikan ruang bicara bagi masyarakat adat, mereka bukan objek yang bisa dipindahkan demi sebuah proyek-proyek besar. Melainkan mereka lah yang menjadi pemilik sah dari tanah dan laut yang selama ini mereka jaga dengan hati dan doa. (*)

Editor: PARE POS
  • Bagikan