Oleh Muhammad Iqbal
Setiap tahun, tanggal 1 Muharram dirayakan dengan gegap gempita. Di berbagai tempat, umat Islam menggelar pawai obor, dzikir akbar, tabligh akbar, hingga lomba bernuansa Islami. Dari podium hingga media sosial, para pemimpin menyampaikan ucapan selamat tahun baru Islam. Namun, di balik kemeriahan itu, muncul pertanyaan yang mengganggu nurani: apakah peringatan hijrah ini menghasilkan transformasi nyata dalam kehidupan kita? Atau jangan-jangan, ia hanya menjadi seremoni tahunan tanpa makna substantif?
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah adalah peristiwa monumental yang mengubah arah sejarah. Tapi hijrah bukan sekadar perpindahan geografis, ia adalah strategi perubahan sosial yang berbasis iman, visi, dan keberanian moral. Nabi berhijrah bukan karena kalah, tetapi karena Mekkah telah menutup semua pintu dakwah dan keadilan. Maka beliau membangun masyarakat baru yang inklusif, adil, dan berperadaban di Madinah.
Sayangnya, makna hijrah itu kini terkubur di balik hingar-bingar seremoni. Ia lebih sering diperingati sebagai kenangan daripada dihayati sebagai panggilan untuk perubahan. Kita mengenang hijrah Nabi, tapi enggan berhijrah dari gaya hidup yang hedonis, budaya sosial yang toksik, dan kebijakan publik yang timpang.
Padahal, spirit hijrah sesungguhnya adalah meninggalkan hal-hal yang merusak dan menapaki jalan hidup yang lebih bermakna. Hijrah bukan hanya soal berpindah tempat, tapi berpindah nilai. Bukan sekadar mengganti penampilan luar, tapi menata ulang orientasi batin. Jika tidak ada yang berubah dalam cara berpikir, cara berbicara, cara memimpin, dan cara berkehidupan setelah peringatan hijrah, maka itu adalah seremoni tanpa transformasi.
Peringatan hijrah mestinya mengajak kita semua dari individu hingga institusi untuk melakukan evaluasi mendalam. Sejauh mana kita telah berhijrah dari ego ke empati? Dari kekuasaan ke pelayanan? Dari kepentingan diri ke tanggung jawab sosial?
Dalam konteks keluarga, hijrah berarti berpindah dari pola asuh keras yang diwarisi secara turun-temurun menuju pola pendidikan yang penuh kasih, dialog, dan keteladanan. Dalam dunia pendidikan, hijrah berarti meninggalkan metode yang hanya menekankan nilai ujian, dan beralih ke pembentukan karakter, kesadaran kritis, serta kepekaan sosial. Di tingkat komunitas, hijrah berarti membuka ruang dialog lintas perbedaan, bukan mengunci diri dalam eksklusivisme yang merusak ukhuwah.
Bahkan di ranah pemerintahan dan kebijakan publik, hijrah adalah keharusan moral. Pemimpin yang meneladani Nabi harus berani berhijrah dari politik transaksional menuju etika pengabdian. Dari pengelolaan kekuasaan yang elitis menuju sistem yang partisipatif dan pro-rakyat. Jangan sampai semangat hijrah hanya berhenti pada pidato tahunan, tanpa keberanian mereformasi kebijakan yang melanggengkan ketimpangan.
Sungguh ironis jika kita merayakan hijrah tapi tak mau berubah. Kita bangga dengan sejarah Rasul, tapi enggan meneladaninya dalam keberanian bersikap. Kita mengulang-ulang kisah pengorbanan sahabat, tapi abai pada penderitaan di sekitar kita. Kita ramai berdzikir di malam pergantian tahun, tapi esoknya kembali ke rutinitas duniawi tanpa arah spiritual.
Dalam sejarah Islam, kalender hijriyah justru dimulai dari hijrah, bukan dari kelahiran atau wafat Nabi. Ini mengandung makna mendalam: bahwa Islam menilai awal peradaban bukan dari momen simbolik, tapi dari momentum perubahan sosial. Maka jika kita benar-benar memperingati hijrah, kita harus menjadikannya titik tolak untuk berani meninggalkan dan bersabar dalam membangun.
Hijrah juga mengandung kesadaran bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam. Hijrah hati: dari dendam menuju maaf. Hijrah pikiran: dari sempit menuju luas. Hijrah perkataan: dari menyakiti menuju menyejukkan. Hijrah perbuatan: dari lalai menuju tanggung jawab. Jika ini tak terjadi, maka peringatan hijrah hanya akan menjadi perayaan kulit, bukan penyucian ruh.
Peringatan hijrah bukan panggung romantisme sejarah. Ia seharusnya menjadi alarm batin bahwa dunia ini sedang sakit oleh kerakusan, kebencian, dan ketidakadilan. Maka setiap umat Islam harus bertanya: sudahkah aku berhijrah dari sikap masa bodoh menuju kepedulian? Dari pembiaran menuju perbaikan?
Hijrah Nabi adalah titik balik lahirnya masyarakat baru yang bermartabat. Maka setiap peringatan hijrah adalah undangan untuk menciptakan titik balik dalam hidup kita. Sebuah lompatan dari rutinitas tanpa makna menuju kehidupan yang lebih jujur, adil, dan bertanggung jawab. Tanpa itu, kita hanya merayakan simbol tanpa substansi. Seremoni tanpa transformasi.
Muhammad Iqbal
Penulis dan pemerhati pendidikan karakter yang aktif menulis tentang masalah pendidikan, keislaman, dan sosial.(*)